1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Minim Peluang Perubahan, Partisipasi Pemilu di Iran Menciut

Shabnam von Hein
28 Februari 2024

Survei mengindikasikan tingkat partisipasi yang rendah pada pemilu legislatif Maret mendatang. Setelah brutalitas pemerintah terhadap protes perempuan 2022 silam, pemilu tidak lagi dirasa bisa membawa perubahan.

https://p.dw.com/p/4cyUG
Pemilu di Iran
Perempuan melintasi plakat kampanye di Teheran, IranFoto: Fatemeh Bahrami/AA/picture alliance

Pada tanggal 1 Maret, sekitar 61 juta warga negara dipanggil untuk mencoblos parlemen baru. Masyarakat juga harus menentukan susunan anggota Dewan Ahli yang bertugas memilih pemimpin spiritual dan politik negara.

Dikutip dari kantor berita Azar Qalam, sebuah survei di Iran belum lama ini memperkirakan tingkat partisipasi di kisaran 30 persen. Di ibu kota Teheran, hanya 15 persen yang mengaku akan ambil bagian dalam pemilu. Para responden menyebut ketidakberdayaan parlemen, korupsi dan kecilnya harapan akan masa depan yang lebih baik sebagai alasan utama mereka tidak memilih.

Struktur kekuasaan di Iran
Struktur kekuasaan di Republik Islam Iran

Menurut kantor berita pemerintah, IRNA, sekitar 15.200 kandidat akan bersaing memperebutkan 290 kursi di badan legislatif. "Sebagian besar calon, terutama di daerah pemilihan kecil, adalah dokter, insinyur, pegawai negeri dan guru yang bukan anggota kelompok politik mana pun,” kata jurnalis Masiar Chosravi kepada kantor berita AFP. Dengan mengizinkan jumlah kandidat yang relatif besar, pemerintah ingin "menciptakan persaingan di tingkat lokal dan meningkatkan jumlah pemilih,” tambahnya.

Menjaring suara dengan musik dan pesta

Masa kampanye resminya dimulai pada 22 Februari lalu. Di jejaring sosial, berhamburan video-video kampanye dengan musik bervolume keras dan suasana meriah. Seperti lumrahnya setiap sebelum pemilu, polisi moral alias milisi Basij tidak lagi terlihat berpatroli atau melakukan penggerebekan.

"Sebagai seorang prajurit sederhana yang semata mengabdi kepada masyarakat, saya mengajak bangsa Iran untuk memandang pemilu mendatang sebagai hal yang sangat penting,” kata Komandan Garda Revolusi Hossein Salami di hadapan para jurnalis. "Pemilu bukan sekedar memilih kandidat. Dampaknya bersifat global. Tingginya jumlah pemilih menunjukkan bahwa Iran bisa mengandalkan kemauan dan suara rakyat di tengah kesulitan."

Salami dan seluruh jajaran pemimpin negara mulai menyadari betapa kesenjangan antara elit politik dan masyarakat terus melebar di Iran. Sejak aksi brutal aparat keamanan terhadap protes perempuan pada tahun 2022, kian banyak warga yang mengubur harapan akan datangnya perubahan.

Ambruknya kepercayaan pemilih

"Semakin sukses pemerintahan Republik Islam dalam menekan oposisi dan mengkonsolidasikan sistem perwalian Islam, semakin kecil pula peran republik di dalam sistem politik, ketika pemerintahan Islam semakin kuat,” kata sosiolog Mehrdad Darvishpour, profesor di Universitas Mälardalen di Swedia.

"Dalam sejarah Republik Islam sejak tahun 1979, ada masa-masa ketika masyarakat percaya pada reformasi sesuai hukum dan standar sistem serta menggunakan pemilu sebagai kesempatan untuk melakukan protes. Tujuannya adalah untuk memukul mundur para pemimpin agama dan memperkuat elemen demokrasi. Namun, hasilnya tidak pernah membawa reformasi nyata karena sistemnya tidak mengikuti kemauan masyarakat."

Seiring waktu, sistem politik di Iran berkembang lebih radikal dan otoriter. Ruang kritik pun menyempit. Sebelum pemilihan parlemen pada tanggal 1 Maret, beberapa kandidat yang kritis terhadap pemerintah didiskualifikasi. Komisi pemilihan umum juga mengeluarkan nama sejumlah anggota parlemen dari daftar pemilu karena "kualifikasi ideologi yang tidak memadai”.

Konsolidasi kekuatan konservatif

Dalam pemilu legislatif terakhir tahun 2020, banyak kandidat moderat dan reformis yang tidak lolos tanpa alasan yang jelas. Menurut informasi dari seorang politisi oposisi, hanya 20 hingga 30 kandidat reformis yang diperbolehkan maju sebagai calon. Sebabnya pemilu kali ini diyakini akan menjadi ajang untuk mengkonsolidasikan kekuatan kelompok konservatif yang berkuasa.

"Pemilu di Republik Islam tidak memungkinkan terjadinya perubahan politik dan sosial atau peralihan kekuasaan berdasarkan keinginan mayoritas dan melindungi hak-hak dasar minoritas,” kata Ali Afshari, pakar politik Iran yang tinggal di pengasingan di AS. "Pemilu di Iran adalah instrumen untuk mengkonsolidasikan kekuasaan tidak sah dari kelompok minoritas yang berkuasa, dan untuk mempertahankan sistem distribusi sumber daya yang tidak adil – sebuah permainan demi kekuasaan dan kekayaan,” ujarnya.

Lebih dari 275 aktivis politik dan perwakilan masyarakat sipil terkemuka di Iran telah mengumumkan akan memboikot pemilihan legislatif tahun ini. Mereka mengecam sistem pemilu yang "menyedihkan” dan mengutuk "kegagalan reformasi”, "penghapusan total kritik” dan "diskualifikasi kandidat secara besar-besaran”. Para penandatangan menilaihal ini mengubur legitimasi pemilu.

Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang dipenjara, Narges Mohammadi, juga ikut melakukan boikot. "Saya mendukung rakyat dan memboikot pemilu palsu ini untuk menggaungkan ketidakabsahan Republik Islam dan kesenjangan antara rezim otoriter yang represif dan rakyat,” katanya dalam sebuah pernyataan dari penjara.

(rzn/hp)