1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakAsia

Narges Mohammadi: Dari Penjara hingga Nobel Perdamaian

Wesley Rahn
11 Desember 2023

Nobel Perdamaian bagi Narges Mohammadi menandai perjuangan perempuan Iran selama satu dekade terakhir demi kesetaraan. Penghargaan itu diharapkan bisa menginspirasikan keteguhan dalam melawan rezim otoriter di Teheran.

https://p.dw.com/p/4a0dL
Narges Mohammadi
Pegiat HAM Iran, Narges MohammadiFoto: Sergei Gapon/Anadolu/picture alliance

Selama hampir dua dekade, Narges Mohammadi harus keluar masuk penjara karena aksinya menentang kebijakan diskriminatif Republik Islam.

Pegiat HAM paruh baya itu tercatat pernah ditangkap sebanyak 13 kali, dipenjara lima kali dan dijatuhi hukuman kurung selama total 31 tahun. Mohammadi saat ini sedang mendekam di penjara Evin di ibu kota Teheran, yang dikenal sebagai simbol otoritarianisme rejim Iran, di mana tahanan politik dan musuh pemerintah menebus dosa.

Pada hari Minggu (10/12), anak-anak Narges Mohammadi mewakilinya menerima Nobel Perdamaian di balai kota Oslo, Norwegia.

Suami Mohammadi, Taghi Rahmani, seorang jurnalis Iran yang mengasingkan diri di Prancis, mengatakan kepada DW bahwa keptusan Komite Nobel merupakan sebuah "penghargaan terhadap perlawanan,” perempuan Iran.

"Fakta bahwa acara Nobel dibuka dengan slogan ‘Perempuan, Kehidupan, dan Kebebasan', menunjukkan bahwa penghargaan ini ditujukan untuk semua orang yang berjuang untuk kebebasan sipil dan demokrasi di Iran dan Narges adalah salah seorangnya,” kata dia.

Bulan Oktober lalu, pengacara Iran dan aktivis hak asasi manusia Shirin Ebadi mengatakan kepada DW betapa Nobel Perdamaian bagi Mohammadi akan "menyita perhatian internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Iran, khususnya perlakuan diskriminatif terhadap perempuan."

Pada tahun 2003, Ebadi menjadi orang Iran pertama, sekaligus perempuan pertama dari dunia Islam, yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian.

"Penghargaan ini akan membantu perempuan mencapai kesetaraan dan membantu masyarakat Iran bergerak menuju demokrasi,” kata Ebadi, sambil mengucapkan selamat kepada "semua perempuan Iran” dan Mohammadi. "Dia pantas mendapatkan penghargaan ini. Dia harus mendekam di penjara selama bertahun-tahun karena aktivitasnya membela hak asasi manusia."

Perempuan dan kebebasan di Iran

Bagi Perempuan Iran, memperlihatkan rambut di depan umum bisa memancing konsekuensi serius, termasuk bahkan kematian. Berpergian ke luar rumah tanpa jilbab saat ini dilarang oleh kode "moralitas” yang ditegakkan oleh polisi Syariah.

Komite Nobel Norwegia mengatakan, Nobel Perdamaian tahun 2023 juga mengakui peran semua warga Iran yang "berdemonstrasi menentang diskriminasi dan penindasan oleh rezim teokratis Iran yang menargetkan perempuan," merujuk pada protes setelah kematian perempuan Kurdi, Jina Mahsa Amini, dalam tahanan polisi Syariah.

Ketika demonstrasi meluas, aparat keamanan diterjunkan yang mengarah pada tewasnya ratusan orang pengunjuk rasa. Dikabarkan, keluarga korban mendapat teror dari pihak berwenang untuk tidak menunjukkan kedukaan di muka umum. Beberapa bahkan dilarang berkumpul di kuburan kerabat mereka yang terbunuh.

Bulan lalu, Mohammadi dan sesama narapidana melakukan protes simbolis di halaman penjara dengan membakar jilbab mereka pada peringatan kematian Amini.

Masa depan hak-hak perempuan Iran

"Sejak berdirinya Republik Islam di Iran pada tahun 1979, perempuan di Iran telah ditindas secara sistematis. Mereka yang tidak patuh akan dihukum. Pemerintah mencoba melakukan apa pun untuk menghancurkan dan membungkam kami,” kata Mohammadi kepada DW dalam wawancara pada Juni 2021, sebelum dia menjalani vonis penjara terakhir.

Saat itu, Mohammadi didakwa melakukan "propaganda melawan negara" setelah mencoba melaporkan direktur penjara Evin karena memukulinya hingga babak belur. Dia mengatakan, pemerintah Iran membidiknya "karena saya seorang perempuan yang pantang menyerah."

Suami Mohammadi mengatakan bahwa pemberian Hadiah Nobel Perdamaian kepada seseorang yang masih berada di penjara bersama aktivis politik lainnya merupakan hal yang penting.

Dia menyatakan harapannya bahwa "lembaga internasional dan nasional akan memberikan tekanan terhadap pemerintah mereka untuk mempertimbangkan hak asasi manusia sebagai salah satu aspek penting dalam hubungan diplomatik” dengan Iran.

"Pemerintah harus memahami bahwa kebebasan di dunia yang terglobalisasi adalah isu penting internasional,” tambahnya.

Mansoureh Shojaei mengatakan bahwa penghargaan Nobel dapat membantu gerakan hak-hak perempuan, dan menambahkan bahwa merupakan "tanggung jawab” para aktivis untuk "memanfaatkan sumber daya ini semaksimal mungkin.”

"Hadiah Nobel kedua ini dapat dianggap sebagai hasil dari gerakan kebebasan perempuan,” ujarnya. "Saya mendoakan kebebasan di Iran,” imbuhnya. rzn/hp

Artikel ini ditulis dengan menggabungkan laporan Mitra Shodjaie di Iran

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.