1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Popularitas Uni Eropa Menyusut di Asia Tenggara?

David Hutt
19 April 2024

Pengaruh Uni Eropa melemah, setidaknya menurut "kelompok elit" pemerintahan dan ekonomi yang disurvei ISEAS-Yusof Ishak Institute di Asia Tenggara. Sengketa dagang dan Perang Gaza dianggap sebagai sandungan terbesar.

https://p.dw.com/p/4exYI
Komisi Eropa
Kantor pusat Komisi Eropa di Brussels, BelgiaFoto: Cornelius Poppe/NTB/picture alliance

Survei tahunan berjudul "Kondisi Asia Tenggara" oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura melibatkan 2.000 responden dari kalangan akademisi, bisnis, pemerintah dan lembaga swadaya dari semua negara anggota ASEAN.

Secara umum, 58,9 persen responden menempatkan Jepang sebagai negara adidaya yang paling bisa dipercaya. Amerika Serikat bertengger di urutan kedua dengan 42,4 persen dan Uni Eropa dengan 41,5 persen.

Namun begitu, jika ASEAN harus memihak dalam konflik geopolitik di Indo-Pasifik, Cina dianggap sebagai pilihan utama dengan 50,5 persen. Popularitas AS sebagai negara sekutu anjlok dari 61,1 persen pada tahun lalu menjadi 49,5 persen.

Keraguan terutama membesar bahwa Uni Eropa akan tunduk pada asas keadilan dalam perdagangan bebas atau hukum internasional dibandingkan tahun lalu. Tidak lebih dari 14 persen responden menilai UE sebagai penggawa perdagangan global, turun dari 22 persen pada tahun lalu.

Tahun lalu, UE mendarat di peringkat kedua sebagai adidaya dunia yang bisa dipercaya melindungi tatanan global berbasis hukum internasional. Namun, tahun ini kepercayaan responden menurun dari 23 menjadi 17 persen, di belakang AS dan ASEAN.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Apa respons Brussels?

Survei juga mencatat turunnya kepercayaan di Asia Tenggara bahwa UE akan "bertindak benar” dengan berkontribusi pada perdamaian, keamanan, kemakmuran dan pemerintahan global. Tahun ini, cuma 41 persen responden yang menyetujui pernyataan tersebut, turun dari sekitar 51 persen pada tahun lalu.

Bagi sepertiga responden yang meragukan peran UE, alasan terbesar adalah urusan domestik di Eropa yang "mengalihkan perhatian Brussels sehingga tidak bisa fokus pada isu dan kekhawatiran global."

"Hasil survei ini menggarisbawahi bahwa Uni Eropa harus memperkuat kerja sama di Asia Tenggara," kata David McAllister, ketua Komite Luar Negeri di Parlemen Eropa. Adapun Bernd Lange, kepala komite perdagangan internasional di Strasbourg, mengatakan "tidak semuanya buruk," bagi UE dalam laporan tersebut, "tapi jelas kita harus menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah."

Perang Gaza redupkan citra

Bridget Welsh, peneliti di Universitas Nottingham Asia Research Institute Malaysia, mengatakan perang Israel-Hamas sejauh ini merupakan faktor paling "merusak” bagi citra UE selama 12 bulan terakhir.

"Banyak penduduk di Asia Tenggara melihat dukungan tanpa batas UE kepada Israel dan pembantaian terhadap warga Palestina di Jalur Gaza sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima,” katanya kepada DW.

Di sejumlah negara ASEAN, Perang Gaza dianggap sebagai isu geopolitik global paling penting, melebihi konflik di Laut Cina Selatan dan perang saudara di Myanmar yang notabene berjarak lebih dekat.

Sengketa dagang di kebun sawit

Eropa sejatinya telah lama berselisih dengan Malaysia dan Indonesia soal dampak lingkungan pembuatan minyak sawit di kedua negara produsen terbesar di dunia itu. Brussels ingin membatasi impor produk yang dibuat dengan membabat hutan atau melanggar hak asasi manusia.

Namun Indonesia dan Malaysia menuduh UE membesarkan isu deforestasi demi melindungi petani di dalam negeri. Kedua negara berdalih, dibandingkan minyak rapa atau bunga matahari yang ditanam di Eropa, sawit mencatatkan produktivitas yang jauh lebih tinggi, sehingga membutuhkan lebih sedikit lahan. 

Pada bulan Maret lalu, Organisasi Perdagangan Dunia, WTO, memenangkan UE atas gugatan hambatan dagang yang dilayangkan Malaysia. Namun WTO juga menyetujui beberapa keluhan pemerintah di Kuala Lumpur mengenai cara Brussels mempersiapkan, menerbitkan dan mengatur Undang-undang anti-deforestasi.

UE sebagai pilihan ketiga

Meski sarat perselisihan, hasil survei juga menunjukkan betapa "Uni Eropa tetap berperan kuat sebagai mitra ASEAN," kata juru bicara luar negeri UE, Peter Stano, kepada DW. Menurutnya, Eropa dianggap sebagai mitra dialog keempat paling penting di ASEAN, setelah Cina, AS dan Jepang, serta sebagai alternatif terkuat di antara hegemoni AS dan Cina.

"Survei tahun 2023 menunjukkan peningkatan apresiasi di kawasan ini untuk peran Uni Eropa dibandingkan tahun 2022," imbuhnya. "Meski tahun ini posisi UE cendrung melemah, penilaian umum terhadap peran UE masih kuat dan positif," kata Stano lagi.

Dia mengimbau kepada publik untuk tidak terlalu berlebihan menafsirkan hasil jajak pendapat "Kondisi Asia Tenggara" tahun ini, karena komposisi responden berdasarkan lokasi geografis yang berubah setiap tahun. Salah satu penyebabnya adalah keputusan ISEAS tahun ini untuk lebih fokus pada responden dari sektor swasta dan pemerintahan, ketimbang peneliti di wadah pemikir dan lembaga penelitian.

Rahul Mishra, peneliti senior di Universitas Thammasat di Thailand, juga menilai skeptis hasil survei tersebut. "Sungguh mengejutkan bagaimana kontribusi dan keterlibatan aktif UE di Asia Tenggara tidak tercermin dengan baik dalam survei ini,” katanya, sembari menyarankan lembaga survei "seharusnya membingkai kuesioner dan pertanyaan dengan lebih hati-hati.”

Perbaikan di cakrawala?

Menurut anggota Parlemen Eropa Bernd Lange, hasil jajak pendapat menyimpulkan betapa Brussels harus menggiatkan upaya diplomatik di kawasan. "Jika menyangkut pencitraan demi memastikan bahwa kita dipandang sebagai mitra kerja sama yang baik, tidak ada yang namanya jalan pintas" kata dia. "Kita harus menunjukkan bahwa Eropa berpikir jauh ke depan, bahwa kita siap mendengar, belajar dan saling membantu satu sama lain."

"Kita harus menyingsingkan lengan baju dan duduk bersama dengan teman-teman di Thailand, Filipina dan Indonesia, serta membuat kesepakatan yang adil dan membantu semua pihak untuk tumbuh dan merasa aman untuk masa depan," imbuhnya, merujuk pada kebuntuan negosiasi perjanjian perdagangan bebas, FTA.

Perundingan FTA belum rampung kendati sudah dimulai sejak 2013 dengan Thailand, 2015 Filipina dan 2016 dengan Indonesia.

rzn/hp