1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Upaya ASEAN Meniti Jalan Damai di Laut Cina Selatan

21 November 2023

ASEAN tegaskan komitmennya terhadap perdamaian dan stabilitas di Asia. Anggota ASEAN mengupayakan hubungan baik dengan Amerika Serikat dan Cina untuk mencegah konflik lebih besar di Laut Cina Selatan (LCS).

https://p.dw.com/p/4ZG0L
Foto ilustrasi ketegangan di Laut Cina Selatan
Foto ilustrasi ketegangan di Laut Cina SelatanFoto: Joeal Calupitan/AP Photo/picture alliance

ASEAN ingin berbuat lebih banyak untuk mempromosikan kebebasan navigasi dan penerbangan di kawasan Laut Cina Selatan (LCS). Setelah pertemuan para menteri pertahanan ASEAN baru-baru ini di Jakarta, mereka menegaskan lagi bahwa bentrokan maritim di perairan LCS harus dihindari melalui aturan internasional. Indonesia saat ini menjabat sebagai presiden ASEAN.

Pernyataan bersama para menteri pertahanan di Jakarta disampaikan dengan hati-hati. Anggota ASEAN memang memiliki kepentingan yang berbeda-beda di kawasan LCS. Kawasan ini sangat strategis, karena diduga memiliki sumber daya mineral yang besar. Sekitar sebelas miliar barel minyak dan sekitar 190 triliun meter kubik gas alam diyakini berada di bawah dasar laut di kawasan. 

Selain itu, LCS merupakan kawasan yang penting untuk pelayaran. Sekitar sepertiga transportasi pengiriman minyak mentah dunia melewati kawasan ini. LCS adalah jalur utama lalu lintas pelayaran antara Asia dan Eropa dan antara Asia dan Afrika.

Cina sudah lama mengklaim hampir 90 persen seluruh kawasan Laut Cina Selatan ke dalam wilayahnya. Beijing membangun banyak pulau buatan yang dilengkapi dengan landasan pacu pesawat terbang untuk memperluas kehadiran militernya.

Latgab Militer ASEAN Pertama

Konflik skala global

Persaingan regional di Laut Cina Selatan semakin intensif karena adanya benturan kepentingan dua adidaya Amerika Serikat dan Cina. "Beijing antara lain ingin mencegah pengepungan militer oleh AS dan sekutunya," kata Marc Saxer, manajer kantor yayasan Jerman Friedrich Ebert Stiftung di Bangkok. "Ada kekhawatiran di Beijing bahwa jalur perdagangan Cina akan terputus suatu saat nanti. Itulah sebabnya RRC menggunakan cara-cara militer untuk menunjukkan bahwa mereka tidak ingin menoleransi campur tangan negara lain.”

Cina menetapkan perbatasannya sendiri di wilayah perairan yang disengketakan itu sejak 1950an. Melalui apa yang mereka sebut Sembilan Garis Putus, yang menjangkau dekat wilayah Filipina, Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam. Sebaliknya, AS dan mitra-mitranya, terutama Jepang dan Filipina, bersikeras pada peraturan hukum internasional.

"Untuk meningkatkan pengaruhnya, negara-negara besar semakin bersaing untuk mendapatkan hubungan dengan negara-negara sekitar", kata Felix Heiduk, kepala penelitian untuk Asia di tangki pemikir SWP yang bermarkas di Berlin, Jerman. "Negara-negara di kawasan berada di bawah tekanan untuk memilih salah satu dari kedua pihak.” Meski begitu, bukan berarti mereka akan menyerah pada tekanan yang ada. "Faktanya, reaksi mereka sangat berbeda terhadap ekspektasi negara-negara besar,” kata Heiduk dalam wawancara dengan DW.

"Filipina, yang sudah menjadi sekutu militer AS, di bawah kepemimpinan Ferdinand Marcos Junior saat ini telah memutuskan untuk bekerja sama lebih erat dengan AS,” jelas Felix Heiduk. Pada awal November, Filipina meninggalkan proyek besar Presiden Cina Xi Jinping, Belt and Road Initiative (BRI).

Kedekatan dengan AS dan Cina sama-sama penting

Vietnam mengambil jalan yang berbeda. "Negara ini telah menetapkan dalam konstitusinya bahwa mereka tidak akan menjalin aliansi dengan negara lain. Sebaliknya, negara komunis itu berusaha menyeimbangkan hubungan dekat tradisionalnya dengan Cina, sekaligus memperdalam kemitraan bilateral dengan Amerika Serikat," jelas Felix Heiduk.

Negara-negara seperti Kamboja, Indonesia dan Malaysia juga mengikuti hal yang sama seperti Vietnam. Mereka menjalin hubungan dan kolaborasi ke berbagai arah dan tidak berkomitmen pada satu pihak pun. "Dengan cara ini mereka menghindari memilih satu pihak dan karenanya menentang pihak lain," kata Felix Heiduk.

Marc Saxer dari Friedrich Ebert Stiftung menambahkan, sebagian besar negara ASEAN sebenarnya mengikuti arah yang jelas. "Mereka semua membutuhkan hubungan ekonomi yang baik dengan Cina. Pada saat yang sama, mereka juga menghargai AS sebagai penstabil kebijakan keamanan di kawasan. Ini merupakan prinsip dasar kebijakan luar negeri sebagian besar negara ASEAN."

Karena dimensi global dari ketegangan regional ini, para menteri pertahanan ASEAN yang bertemu di Jakarta juga mengundang wakil menteri pertahanan Amerika Serikat, Cina dan Rusia untuk ambil bagian dalam pertemuan tersebut. (hp/as)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.