1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakAfganistan

Keberanian Jurnalis Perempuan Hadapi Taliban di Afganistan

Shabnam von Hein
25 Januari 2024

Kaum perempuan Afganistan menggalang oposisi demi menuntut balik pemulihan hak-hak dasar. Sebagian mendirikan majalah online dan bertaruh nyawa demi bisa mengungkap situasi kaum perempuan dan minoritas di bawah Taliban.

https://p.dw.com/p/4behE
Jurnalis perempuan di Afganistan
Jurnalis perempuan di AfganistanFoto: Rahmat Gul/AP/picture alliance

Laporan terbaru misi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Afganistan, UNAMA, kembali menorehkan catatan pahit untuk hak perempuan Afganistan di bawah kekuasaan Taliban. Kelompok radikal Islam itu terutama membatasi ruang gerak perempuan lajang dan yang berpergian tanpa ditemani saudara laki-laki.

Akses perempuan tidak hanya dibatasi dalam kebebasan berpergian, tetapi juga akses pekerjaan atau layanan kesehatan. Dalam sebuah kasus, seorang perempuan bahkan diperintahkan Kementerian Amar Maruf Nahi Munkar untuk menikah demi mempertahankan pekerjaannya di sebuah instansi kesehatan, lapor UNAMA. Dalih yang digunakan adalah pencegahan tindakan asusila jika seorang perempuan lajang bekerja bersama laki-laki.

"Contoh tersebut hanya satu dari sekian banyak kasus serupa", kata Zahra Nader. Jurnalis perempuan Afganistan itu mendirikan majalah online, Zan Times, tahun 2022 lalu untuk memberdayakan hak perempuan.

Nader sendiri kini tinggal di Kanada, usai melarikan diri dari Taliban demi menempuh pendidikan di Amerika Serikat. "Saya merasa berkewajiban untuk membantu kaum perempuan di kampung halaman," tegasnya.

Risiko bekerja di bawah rejim Taliban

Ketika masih menetap di Afganistan, Nader sudah banyak membuat laporan untuk media internasional, seperti The New York Times di AS. Dia mengaku masih berhubungan dengan jurnalis perempuan di Afganistan yang kehilangan pekerjaan atau mengungsi ke luar negeri setelah pengambilalihan kekuasaan olen Taliban.

"Di majalah kami, jurnalis-jurnalis perempuan Afganistan di dalam dan luar negeri rajin menulis laporan dalam bahasa Inggris atau Farsi. Informasi di lapangan dikumpulkan sekelompok kecil jurnalis perempuan. Mereka menanggung risiko besar ketika melaporkan isu-isu yang tidak diinginkan Taliban, seperti LGBTQ di Afganistan, hak asasi manusia, kekerasan dalam rumah tangga atau pernikahan anak," kata dia.

Sejak merebut kembali kekuasaan di Afganistan pada Agustus 2021, Taliban melarang perempuan untuk bekerja di ruang-ruang publik. Murid perempuan juga dilarang bersekolah setelah menamatkan kelas keenam. Salon kecantikan dipaksa tutup. Pada Mei 2022, Taliban menyarankan perempuan mengenakan burka dan hanya memperlihatkan kedua mata ketika berpergian ke luar.

"Bagi keluarga adalah sebuah aib jika ada anggota keluarga perempuan yang ditangkap Taliban. Sebab itu, ayah atau suami seringkali melarang anak atau isterinya untuk keluar rumah," kata Zahra Nader. "Membuat laporan kritis yang membantah propaganda Taliban berisiko kehilangan nyawa. Kolega kami di lapangan harus sangat berhati-hati. Mereka menulis dengan nama samaran atau hanya meninggalkan rumah setelah berkoordinasi dengan kami. Mereka saling mengenal satu sama lain dan hanya berkomunikasi dengan kolega di luar negeri," imbuhnya.

Ribuan Pengungsi Afganistan Terpaksa Meninggalkan Pakistan

"Bukan kata kosong"

Nader awalnya harus menggunakan tabungan pribadi untuk membiayai operasi Zan Times. Sejumlah kolega rela bekerja tanpa dibayar. Kini, majalahnya hidup dari dana sumbangan.

"Kami ingin mencerahkan. Kami ingin memberdayakan pola pikir yang kritis," kata dia. "Pembaca kami utamanya berasal dari Afganistan. Tapi belakangan ada juga pembaca dari negara lain yang banyak menampung pelarian dari Afganistan."

Nader menggantungkan harapan pada solidaritas internasional untuk membantu kaum perempuan di kampung halamannya. Dia mengajak negara-negara yang selama 20 tahun terlibat di Afganistan untuk menggiatkan bantuan bagi kaum perempuan di negara itu.

"Saya tidak cuma mengajak mereka berpidato untuk mengutuk Taliban. Itu saja tidak akan menghasilkan apa-apa. Taliban harus dilawan dengan tindakan. Misalnya dengan diberi sanksi atau larangan ke luar negeri bagi anggota Taliban, selama mereka belum mengubah kebijakan yang memusuhi perempuan dan masih melarang kaum perempuan untuk ikut terlibat dalam kehidupan publik."

rzn/as

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!