1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Thailand Belajar Tangani Konflik dari Aceh, Relevankah?

Prihardani Ganda Tuah Purba
17 Januari 2020

Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Jenderal Apirat Kongsompong kunjungi Aceh untuk belajar cara tangani konflik separatisme yang masih terjadi di negaranya. Apa yang dapat diadopsi Thailand dari Indonesia?

https://p.dw.com/p/3WInD
Der thailändische Armeechef Apirat Kongsompong trifft in Aceh auf den indonesischen Generalstabschef Andika Perkasa
Foto: Reuters/P. Wongcha-um

Angkatan Darat Kerajaan Thailand dan TNI AD secara resmi melakukan penandatanganan implementasi kerja sama antar kedua angkatan bersenjata tersebut di Markas Kodam Iskandar Muda, di Banda Aceh, Selasa (14/01) lalu. Pendandatangan implementasi kerja sama tersebut dilakukan secara langsung oleh Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Jenderal Apirat Kongsompong, dengan Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Andika Perkasa.

Dipilihnya Aceh sebagai lokasi kunjungan dan penandatangan kerja sama bukan tanpa sebab. Jenderal Andika mengatakan, Aceh secara geografis dinilai menjadi daerah yang paling dekat dengan Thailand. "Itu sebabnya Jenderal Apirat bersedia datang, untuk mengenal lebih dekat Aceh dan termasuk segala dinamika yang ada di sini," jelas Andika. 

Selain alasan geografis, Jenderal Apirat disebut melakukan kunjungan guna mempelajari cara dari daerah dengan julukan Serambi Mekkah itu menangani konflik yang sudah berkecamuk selama kurang lebih 30 tahun. Metode dan pendekatannya kemudian hendak diterapkanuntuk menangani konflik yang serupa di Thailand.

Menurut Andika, penandatangan kerja sama ini merupakan yang keempat sejak pertama kali dilakukan pada 2008 lalu. "Semua ini adalah tindak lanjut dari term of reference kerja sama antara Panglima TNI dengan Panglima Angkatan Bersenjata Thailand pada 2007 dulu," kata Andika seperti dilansir dari Antara. Andika menuturkan bahwa kerja sama yang dilakukan meliputi pendidikan, latihan bersama, pertukaran kunjungan pejabat senior kedua angkatan darat serta berbagai kerja sama lainnya.

Perdamaian Helsinki jadi contoh

Seperti diketahui Aceh dilanda konflik separatisme berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melawan pemerintah Indonesia selama tiga dekade. Konflik bersenjata itu berakhir damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam, setelah ditandatanganinya kesepakatan perdamaian di bawah penengahan mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Aceh kemudian menjadi daerah otonomi khusus dan diperbolehkan menerapkan hukum Syariah.

Jenderal Apirat mengatakan, tiga provinsi di Thailand selatan saat ini masih dilanda konflik. Tiga daerah itu ia sebut memiliki kesamaan dengan Aceh baik dari sisi agama maupun budaya.

"Tiga provinsi di Thailand saya tidak tahu mengapa masih ada konflik untuk beberapa kelompok masyarakat, yang memiliki kebebasan untuk beragama dan memilih wakilnya. Mereka dapat memilih pemimpin sendiri karena mereka adalah warga negara Thailand di bawah konstitusi kita," kata Apirat seperti dilansir dari Antara.

Seperti dilansir dari Reuters, Thailand saat ini tengah memerangi pemberontakan separatis Muslim di tiga provinsi Thailand bagian selatan, yaitu Yala, Pattani dan Narathiwat. Konflik tersebut telah menewaskan hampir 7.000 orang sejak pecah pada 2004.

Konflik terbaru terjadi pada hari Minggu (12/01), ketika sekelompok pria bersenjata menyerang pos militer di provinsi Narathiwat. Seorang sukarelawan pertahanan desa Thailand dan seorang tersangka pemberontak tewas dalam baku tembak, sementara 11 sukarelawan pertahanan lainnya terluka.

Baca juga: Drone Pengintai dan Penyerbu Perlu Dilibatkan Dalam Patroli Perbatasan Indonesia-Malaysia 

Beda nuansa konflik Thailand selatan dengan di Aceh

Peneliti Perbatasan Antarnegara dari LIPI, Awani Irewati mengatakan Kepada DW Indonesia, bahwa sejatinya terdapat perbedaan nuansa politik antara konflik Aceh dan konflik yang terjadi di Thailand selatan.

"Kalau di Aceh itu mayoritas muslim. Tapi kalau kita berbicara konteks Thailand khususnya Thailand selatan, Thailand selatan memang mayoritas muslim, tapi kalau kita lihat keseluruhan dari Thailand itu dia minoritas," ujar Awani.

Menurut Awani, secara historis benih-benih separatisme di Thailand selatan muncul sejak peristiwa aneksasi Kerajaan Pattani oleh Thailand. Persitiwa ini bagi Pattani yang mayoritas muslim Melayu, menurut Awani "dianggap belum selesai secara politik".

"Tentu mereka mempunyai memori catatan yang kuat ingin tetap menjadi sebuah negara yang luas mayoritas muslim seperti kerajaan Pattani yang pernah mereka capai," ujar peneliti LIPI itu.

Baca juga: Akibat Berambisi Jadi Permaisuri, Gelar Selir Raja Thailand Dicabut 

Awani juga menyebutkan, melalui penelitian yang ia lakukan di Thailand selatan, ditemukan fakta bahwa Thailand melakukan asimilasi kultural yang dipaksakan dalam kurikulum pendidikan masyarakat di Thailand selatan, sehingga konflik terus terjadi. 

"Mereka itu kan bahasanya beda, mereka itu bahasanya melayu tapi melayunya melayu beda dengan malaysia, mereka muslim malay tapi bahasa dan tulisannya adalah bahasa jawi tulisan jawi, jadi saya lihat tulisan jawi itu kayak arab, arab gundul," ujarnya.

"Pada waktu itu ada pemaksaan. Asimilasi dalam kurikulum pendidikan untuk memaksakan ajaran-ajaran Buddha atau ajaran ajaran budaya kepada mereka. Jelas ini tidak bisa," tambah Awani.

Peneliti LiPI itu juga mengatakan, terlepas dari masalah historis dan adanya pemaksaan menerima ajaran budaya, pendekatan militer yang selama ini dilakukan di Thailand selatan, juga menjadi faktor penting, mengapa konflik di daerah itu terus terjadi.

"Selama masih melakukan pendekatan pertahanan keamanan terhadap masyarakat, saya kira itu akan tetap saja dihadapi atau diimbangi dengan kekuatan kekuatan yang militan yang ada di Thailand selatan," ujarnya.

Baca juga: Tiga Sayap Militer Papua Bersatu, TNI Anggap Angin Lalu 

Apa yang dapat didopsi dari Indonesia?

Awani menyebutkan, lawatan Jenderal AD Thailand ke Aceh menunjukkan peluang adanya pendekatan baru dalam menangani konflik di Thailand selatan. Ia berpandangan bahwa Thailand bisa mendapat pembelajaran dari Indonesia dalam hal pendekatan kepada masyarakat Muslim yang ada di Thailand selatan. 

Terkait konflik yang terjadi di Thailand selatan, Peneliti Perbatasan Antarnegara dari LIPI itu menyebutkan, masih belum jelas kelompok-kelompok mana yang harus didekati dan dilobi. Ini berbeda dengan konflik Aceh di masa silam, yang kelompok militannya yaitu GAM jelas keberadaannya.

"Itu mungkin jadi suatu pembelajaran atau suatu model yang bisa diadopsi oleh Thailand. Yakni bagaimana cara menghadapi masyarakat muslim. Ini kan masyarakat muslim yang dihadapi? artinya bukan militer muslim kan? Militer muslimnya kan ga kelihatan, ga ada, kalo GAM itu kan ada, lah ini siapa?" ujar Awani. 

Selain itu, Awani mengatakan bahwa Thailand bisa saja melakukan pendekatan kultural, dengan memberikan keleluasaan berupa otonomi khusus atau bahkan menerapkan aturan syariah di Thailand selatan, seperti yang dilakukan di Aceh.

"Kalau pembangunan ekonominya atau daerah Thailand diberikan otonomi khusus seperti Aceh, kemungkinan juga bisa kan? Itu harus dicoba jangan hanya pendekatan militer kemudian pendekatan pemaksaan kebijakan asimilasi, saya kira itu tidak akan berhasil," ujar Awani lebih lanjut.

"Yang jelas, mendapat pengakuan dari pemerintah di Bangkok, saya kira itu juga suatu keharusan. Biarkan mereka hidup sesuai dengan etnisnya sesuai dengan budaya dan agamanya," tambahnya.

gtp/as (dari berbagai sumber)