1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Terlalu Ramai, Jepang Batasi Jumlah Pendaki di Gunung Fuji

31 Januari 2024

Ketika jumlah pengunjung mulai membludak, otoritas lokal buru-buru membatasi akses mendaki Gunung Fuji, rute pendakian paling populer di Jepang. Aturan ini diharapkan bisa membuat gentar turis berperlengkapan minim.

https://p.dw.com/p/4bsSm
Pendaki di dekat puncak Gunung Fuji
Pendaki di dekat puncak Gunung FujiFoto: Yosuke Miura/Yomiuri Shimbun/AP/picture alliance

Lantaran keterbatasan fasilitas di puncak Gunung Fuji di Jepang sampah yang menumpuk, pengunjung yang membludak dan meningkatnya risko keselamatan, otoritas di Jepang terpaksa membatasi akses ke salah satu rute pendakian paling populer itu, yakni dengan memberlakukan tarif masuk dan membatasi jumlah pendaki maksimal.

Sejak akhir Desember, pemerintah prefektur Yamanashi menetapkan batas 4.000 pendaki per hari untuk Jalur Yoshida yang populer di punggung utara Gunung Fuji. Aturan ini mulai berlaku untuk musim pendakian selama 70 hari yang dimulai pada tanggal 1 Juli.

Gubernur Kotaro Nagasaki mengatakan pihaknya membatasi jumlah pendaki yang berangkat pada jam 4 sore dan pukul 2 dini hari. Pendaki juga dipungut bea masuk untuk menutupi biaya pemeliharaan.

Rute pendakian Yoshida di Gunung Fuji
Rute pendakian Yoshida di Gunung FujiFoto: Shuntaro Murase/Yomiuri Shimbun/AP/picture alliance

Padat dan tercemar

Kebijakan baru ini diambil "untuk mengurai kepadatan di atas trail. Survei di masa lalu menunjukkan penumpukan massa yang eksesif di dekat puncak, di mana jumlah pendaki mencapai 4.000 orang."

Gunung Fuji yang menjulang setinggi 3,776 meter memiliki nilai sakral bagi kebudayaan Jepang dan berstatus Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2013.

"Membatasi jumlah pendaki punya sisi baik dan buruknya," kata Tasuo Nanai, sekretaris jendral Klub Fuji-san, organisasi konservasi dan pendidikan lingkungan di Yamanashi. "Pembatasan jumlah pengunjung berpotensi melukai perekonomian lokal. Tapi di sisi lain, ada sejumlah masalah yang harus ditanggulangi sebelum bertambah parah," kata dia kepada DW.

"Salah satu masalah terbesar adalah sampah yang ditinggalkan pengunjung," imbuhnya. "Kami memasang tanda untuk meminta mereka membawa pulang sampah masing-masing, tapi tidak semuanya mematuhi. Artinya, organisasi seperti kami yang akhirnya mengumpulkan sampah." Dia juga mengeluhkan kurangnya jumlah fasilitas sanitasi yang mengakibatkan pencemaran kotoran manusia di sekitar jalur pendakian. 

"Wisata Lambat" yang Istimewa tapi Mahal

Mencegah praktik "panjat peluru"

"Mendaki Gunung Fuji adalah aktivitas berbahaya. Saya tidak yakin kebanyakan pendaki memahami seberapa besar bahayanya," kata Nanai, merujuk kepada pengunjung yang datang dengan baju olahraga, sendal jepit atau celana pendek.

"Beberapa tahun lalu terjadi longsor di dekat puncak gunung yang menewaskan seorang pendaki. Saya kira ada sejumlah kasus kematian setiap beberapa tahun sekali, seringnya pendaki berusia tua yang mendapat serangan jantung," timpal Luke Cummings, pemilik sebuah jasa pemandu di Gunung Fuji.

Pemerintah Yamanashi terutama ingin mengurangi praktik "panjat peluru," kata Cummings, yang menyaratkan pendakian malam hari demi mencatatkan waktu tercepat dalam cuaca paling stabil. Menurutnya, praktik tersebut menggandakan risiko keselamatan bagi pendaki lain.

"Jalur Yoshida adalah rute paling populer dan sebabnya pemerintah ingin membatasi jumlah pengunjung. Ada kemungkinan pemerintah yang mengelola rute pendakian di daerah lain juga akan menerapkan kebijakan serupa di masa depan," imbuhnya.

rzn/hp

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.