1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lari ke Thailand Hindari Wajib Militer di Myanmar

Julian Küng
18 Maret 2024

Rencana junta militer Myanmar melakukan wajib militer paksa terhadap anak muda menyebabkan ribuan orang melarikan diri dari negara tersebut. Banyak dari mereka yang kabur ke Thailand.

https://p.dw.com/p/4dpia
Perbatasan Myanmar-Thailand di Desa Wale
Sejumlah warga terlihat melintasi perbatasan Thailand-Myanmar lewat sebuah jembatan kayu kecil di Desa Wale, distrik Myawaddy, Kayin, Myanmar.Foto: Julian Küng/DW

Di Desa Wale, Thailand dan Myanmar terhubung lewat sebuah jembatan kayu kecil. Sungai kecil yang mengalir di bawahnya merupakan garis perbatasan. Kedua desa di pinggir sungai memiliki nama yang sama dan kehidupan mereka saling terikat.

Penduduk lokal membawa beras dan sayuran bolak-balik melintasi jembatan kayu kecil, sementara para anak bermain air di bawahnya. Penjaga perbatasan Thailand di pos pengamatan lebih memilih memperhatikan ponsel ketimbang arus orang yang berlalu lalang.

Mayoritas orang yang menyeberang di sini berasal dari desa sekitar. Namun, dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah besar anak muda dari daerah lain di Myanmar telah menyeberangi perbatasan di desa yang sepi ini.

"Saya bisa langsung mengenali mereka dari ransel besar mereka," kata Tungsa, sambil bermain domino di luar toko umum miliknya di sisi Myanmar.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

‘Kalau sudah sampai di sini, mereka selamat‘

Para anak muda melarikan diri dari wajib militer Myanmar. Ribuan orang berusaha pergi ke luar negeri sebelum wajib militer diberlakukan pada April 2024. Peserta wajib militer untuk laki-laki berusia 18 hingga 35, sementara untuk perempuan berusia 18 hingga 27 tahun.

Semua yang tidak bersembunyi berisiko mendapat perintah bergabung dengan militer Myanmar. Selain itu, menolak wajib militer dapat dihukum beberapa tahun penjara.

Penduduk lokal Desa Wale
Tungsa (duduk dan tertawa di sebelah kiri) tengah bermain domino dengan temannya di depan sebuah toko di Wale, MyanmarFoto: Julian Küng/DW

"Kalau sudah sampai di sini, mereka selamat," kata Tungsa. Hal ini dikarenakan sisi Myanmar dari Wale dikendalikan oleh Persatuan Nasional Karen (Karen National Union). Ini adalah salah satu milisi etnis yang berperang melawan tentara Myanmar di dalam negeri di beberapa front. Junta militer telah mengalami beberapa kekalahan pahit dalam beberapa bulan terakhir.

Institute of Peace yang bermarkas di Amerika Serikat memperkirakan bahwa Myanmar hanya memiliki tentara paling banyak 130.000 personel, dan hanya sekitar setengahnya yang siap tempur. Para pengamat percaya bahwa wajib militer yang akan segera diberlakukan merupakan upaya untuk menambah jumlah tentara yang sudah sangat berkurang. Maka semakin banyak anak muda yang mencoba melarikan diri dari wajib militer sekarang berdesakan lari ke negara tetangga, Thailand.

Dalam beberapa minggu terakhir, ratusan orang telah ditangkap oleh polisi perbatasan yang berpatroli. Para aktivis hak asasi manusia melaporkan kalau nasib mereka tergantung pada polisi atau otoritas yang menangkap. Mereka dapat ditahan, dikirim kembali ke perbatasan, atau, kadang-kadang, dibebaskan setelah membayar uang suap.

'Perbatasan hijau' yang keropos memungkinkan banyak orang menyeberang

Namun, sebagian besar pengungsi dari Myanmar berhasil masuk ke Thailand tanpa terdeteksi, baik dengan menyelinap melintasi perbatasan hutan yang  hampir tidak dijaga, atau dengan berbaur dengan para pelancong biasa.

Di perbatasan sungai Ban Mun Ru Chai di sebelah barat Wale, pos penjagaan Thailand bahkan tidak memiliki staf. Pos perbatasan sekarang dihuni beberapa ekor kambing.

Pos penjagaan perbatasan
Pos penjagaan di perbatasan sungai "Ban Mun Ru Cha"Foto: Julian Küng/DW

Kata pakar Keamanan sekaligus profesor di Universitas Chulalongkorn Bangkok, Panitan Wattanayagorn, pemerintah Thailand tampaknya sama sekali tidak siap dengan situasi di Myanmar. Pertempuran antara junta militer dan kelompok-kelompok pemberontak akan meningkat dalam beberapa bulan ke depan, dan wajib militer akan terus mendorong orang-orang untuk menyeberangi perbatasan ke Thailand, katanya.

Di saluran TV Thailand PBS, Wattanayagorn memperingatkan bahwa Bangkok harus segera mengambil langkah-langkah untuk menangani arus pengungsi yang akan datang dari Myanmar.

Menteri luar negeri Thailand telah mengumumkan rencana untuk membangun zona keamanan kemanusiaan di sepanjang perbatasan barat, menyediakan makanan dan bantuan medis bagi para pengungsi. Namun, pihak berwenang belum memberikan informasi tentang di mana tepatnya zona keamanan tersebut akan berada, atau kapan zona tersebut akan didirikan.

perbatasan wilayah Ban Mun Ru Chao
Banyak orang menyeberangi sungai di perbatasan wilayah Ban Mun Ru Chao tanpa tantanganFoto: Julian Küng/DW

Sementara itu, hanya pemeriksaan acak yang dilakukan di sepanjang 2.000 kilometer perbatasan Myanmar-Thailand.

"Saya memeriksa orang secara acak," kata penjaga perbatasan di Wale. Minggu lalu, dia menangkap enam orang yang mencoba melarikan diri dari wajib militer. Namun, "terkadang saya membiarkan mereka lewat," katanya, sambil memusatkan perhatiannya pada sepiring nasi ketika tiga orang dari Myanmar melewati jembatan perbatasan.

Tukang ojek, Pattanew
Pattanew, seorang tukang ojek yang menunggu di dekat jembatan perbatasan Thailand-MyanmarFoto: Julian Küng

Thailand butuh pekerja murah dari Myanmar

Penduduk di Desa Wale tampaknya tidak terganggu dengan kedatangan para pengungsi. "Biarkan saja mereka masuk," kata Pattanew, seorang tukang ojek yang sedang menunggu di dekat jembatan perbatasan. Dia mengangkut pekerja harian di motornya; mereka bekerja dengan bayaran yang sangat rendah di ladang-ladang di Thailand dan membersihkan rumah-rumah. "Tanpa pekerja migran dari Myanmar, kami akan memiliki banyak masalah," katanya. "Mereka pekerjakeras, tahan terhadap cuaca panas dan hujan, serta tidak banyak mengeluh."

Sebagian besar bekerja di sekitar wilayah perbatasan. Di sisi lain, para pengungsi baru, sebagian besar melakukan perjalanan ke kota-kota besar seperti Bangkok, Chiang Mai atau kawasan migran di Samut Sakhon, di mana mereka menemukan tempat tinggal di antara rekan-rekan senegaranya.

Diperkirakan ada sekitar dua hingga tiga juta orang dari Myanmar yang tinggal di Thailand. Tidak ada yang tahu jumlah pastinya, karena banyak dari mereka yang berada di negara ini secara ilegal. Salah satu dari mereka, seorang laki-laki berusia awal 20-an, yang meminta menggunakan nama samaran Mao Uh, mengatakan dia takut karena akan terdeteksi oleh radar pihak berwenang."

Mao Uh
Mao Uh melarikan diri dari wajib militer di Myanmar. Dalam foto ini, dia mengangkat tiga jari untuk melambangkan perlawanannya terhadap rezimFoto: Julian Küng

Berharap dapat izin kerja

Hampir sebulan berlalu sejak Mao Uh meninggalkan keluarganya di Ayeyarwady, sebelah barat Yangon, dan berangkat ke Thailand. Perjalanannya sangat menegangkan. Setiap kali melewati salah satu pos pemeriksaan junta, dia menghadapi risiko terdeteksi dan ditangkap. "Saya sangat beruntung," katanya. Akhirnya dia berhasil melintasi "perbatasan hijau" di pedesaan untuk masuk ke Thailand.

Sejak saat itu, dia bersembunyi di pinggiran kota Bangkok, di sebuah ruangan pengap yang jarang dia tinggalkan. Dia mengkhawatirkan saudara perempuannya di rumah. Seperti dirinya, dia menghadapi panggilan wajib militer.

"Kami sudah sepakat bahwa dia akan menyusul segera setelah saya mendapatkan pekerjaan di sini," kata Mao Uh. Idealnya, dia ingin bekerja di sektor keamanan sebagai penjaga, melindungi orang-orang. Namun, pada dasarnya dia siap untuk melakukan pekerjaan apa pun, "apa saja yang ada, di mana pun."

Mao berharap mendapatkan amnesti pekerja dari pihak berwenang Thailand. Empat kali dalam setahun, para migran ilegal dapat mengajukan permohonan amnesti yang memungkinkan mereka untuk bekerja secara legal di Thailand dalam jangka waktu tertentu. Namun, para pengacara tenaga kerja mengkritik prosedur ini, mereka mengatakan bahwa prosedur ini terlalu rumit dan rentan terhadap korupsi, sehingga banyak pengungsi dari Myanmar yang bekerja secara ilegal.

Transformasi Tuktuk bagi Masa Depan Ramah Lingkungan

Pihak berwenang Thailand 'tutup mata'

Menurut Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization), pekerja migran yang tak terlihat dari Myanmar ini telah menyumbang hingga 6,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Thailand.

Sompong Srakaew dari Jaringan Promosi Hak-Hak Buruh meyakini bahwa masuknya pekerja dari negara tetangga ini semakin mendukung perekonomian. "Ini bagus untuk ekonomi Thailand, karena pengusaha membutuhkan pekerja murah agar tetap kompetitif," katanya.

Srakaew, yang mengadvokasi hak-hak migran, memperkirakan lebih dari 10.000 orang yang melarikan diri dari wajib militer telah menyeberangi perbatasan, dan lebih banyak lagi yang datang setiap hari.

"Tampaknya pihak berwenang Thailand menutup mata dan membiarkan banyak orang masuk ke negara ini secara tidak resmi," pungkasnya.

(mh/hp)