1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakIndonesia

Indonesia Gelar Pemilu, Bagaimana Hak Pilih Disabilitas?

Yovinus Guntur Wicaksono
2 Februari 2024

Dari belasan juta penyandang disabilitas usia produktif di seluruh Indonesia, hanya sekitar 1,1 juta yang tercatat berhak memilih pada Pemilu 2024. Ada apa?

https://p.dw.com/p/4bw4A
Tunanetra di Palembang, Sumatera Selatan, mencoblos di Pemilu 2019 dibantu petugas.
Tunanetra di Palembang, Sumatera Selatan, mencoblos di Pemilu 2019 dengan dibantu petugas.Foto: Muhammad A.F´/AA/picture alliance

Tidak lama lagi, Indonesia akan menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024. Pada Pemilu kali ini, warga yang berhak memilih akan mendapatkan lima lembar kertas suara, yakni Presiden – Calon Wakil Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Namun, pesta demokrasi dinilai masih sangat kurang melibatkan para penyandang disabilitas di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama. Keterbatasan ini pada akhirnya membuat para penyandang disabilitas terhambat atau sulit berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Deperti dikutip dari Tempo, menurut data BPS tahun 2022, terdapat sedikitnya 17 juta penyandang disabilitas dalam usia produktif. Namun berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya sekitar 1,1 juta penyandang disabilitas yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024.

"Dari data ini, muncul dugaan bahwa dalam menjaring penyandang disabilitas sebagai pemilih belum secara maksimal dilakukan," kata Komisioner Komnas Disabilitas RI, Kikin P. Tarigan, kepada DW Indonesia.

Pada Pemilu sebelumnya, sejumlah penyandang disabilitas memang sudah dapat menyalurkan suara secara independen tanpa intervensi dari pihak mana pun. Namun, jumlahnya belum maksimal.

Permasalahan yang terjadi adalah kurangnya aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas, ujar Kikin. Sudah banyak pemberitaan terkait dengan terhalangnya partisipasi penyandang disabilitas ke TPS karena minimnya akses dan pendamping.

Selain itu, penyandang disabilitas mental dan intelektual sering kali tidak punya kesempatan memilih karena minimnya sosialisasi dan dampingan.

Penyandang tuli kesulitan akses informasi

Minimnya akses diakui Ika Irawan, penyandang tuli yang juga Ketua Tim Bisindo dan Aksesibilitas (TIBA) yang mengadvokasi hak-hak penyandang tuli. Ika menyebut bahwa hingga kini, di wilayah tempatnya tinggal, hampir tidak ada sosialisasi pemilu sama sekali.

Bahkan, pada pemilu sebelumnya ia pernah hampir melewatkan giliran ke bilik suara pada pemilihan suara, karena penyelenggara pemilu tidak menyediakan petugas dan tempat pemungutan suara (TPS) yang ramah disabilitas, utamanya bagi penyandang tuli. 

"Dari dulu sampai sekarang enggak meningkat pelayanannya. Di TPS, harusnya informasi nomor antrean bukan cuma diomongkan saja, tapi ada tulisannya karena tuli butuh itu," ungkapnya.

Ika Irawan, Ketua Tim Bisindo dan Aksesibilitas (TIBA) yang mengadvokasi hak-hak penyandang tuli.
Ika Irawan mengatakan akses informasi terkait Pemilu bagi penyandang tuli masih sangat minim. Foto: Yovinus Guntur/DW

Pendapat senada juga dikatakan Ketua Komunitas Mata Hati, Danny Heru. Penyandang tunanetra ini mengungkapkan, asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil) belum bisa terlaksana secara keseluruhan, utamanya yang menyangkut tentang kerahasiaan.

"Dari pemilu sebelumnya, untuk surat suara mulai DPR RI hingga Kabupaten/Kota belum tersedia template bagi tunanetra, ujarnya.

Ia mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman, pada Pemilu 2019 dan sebelumnya, sebenarnya sudah ada kemajuan. Saat itu ada relawan demokrasi dengan basis disabilitas yang sangat membantu untuk sosialisasi.

"Pada Pemilu kali ini tidak ada lagi, sehingga untuk sosialisasi ada kekurangan. Meski begitu, masih ada audiensi atau pertemuan dari KPU dan Bawaslu yang melibatkan penyandang disabilitas," terang Danny Heru.

Baik Ika Irawan maupun Danny Heru berharap penyandang disabilitas akan lebih dilibatkan pada seluruh proses Pemilu. Terlebih, hak politik penyandang disabilitas telah dijamin pada pasal 13 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. 

Danny juga berharap agar penyandang disabilitas tidak golput dan menggunakan hak suaranya, karena ada kepentingan untuk memilih sesuai dengan visi misi Indonesia yang inklusi.

KPU dan inklusivitas penyandang disabilitas

Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, mengatakan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan penyelenggara Pemilu. Di antaranya ada penentuan TPS yang mempertimbangkan keberadaan pemiliih dengan kemampuan berbeda hingga informasi yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan disabilitas di TPS.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Idealnya, sambung Usep, semua pemilih termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus mampu melewati beragam tahapan untuk pemungutan suara secara mandiri.

"Artinya, pemilih disabilitas apa pun khususnya tuli itu bisa melakukannya sendiri. TPS kita belum seperti itu. Jadi harus melalui perlakuan-perlakuan khusus yang diintervensi sehingga itu bisa berpotensi melanggar prinsip luber jurdilnya, seperti yang tersurat pada Pasal 2 Undang-Undang no 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," imbuhnya. 

Undang-Undang Pemilu, dinilai Usep, mengatur seluruh warga negara yang berusia 17 tahun dan atau sudah menikah berhak memilih. Tidak ada persyaratan yang menyebutkan pemilih sedang tidak terganggu jiwa/ingatannya. Artinya, semua warga negara yang sudah punya hak pilih, termasuk penyandang disabilitas, wajib didata tanpa terkecuali.

"Jadi secara hukum, kita sudah tidak melarang hak politik ini hak asasi manusia. Tapi implementasinya untuk bisa melayani sebaik mungkin itu kami melihat masih jauh," ujarnya.

Bagaimana respons penyelenggara Pemilu?

Komisioner Divisi Perencanaan Data dan Informasi KPU Surabaya Naafilah Astri menyebut, pihaknya memang tidak menyediakan petugas khusus untuk pemilih dengan disabilitas. Peran tersebut jadi tugas dari seluruh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang jumlahnya tujuh orang pada setiap TPS.

Meski tidak menyiapkan petugas khusus, pihaknya telah meminta kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk membangun TPS yang memenuhi aksesibel. Seperti, dibangun di tempat yang datar, tidak berlumpur, dan sebagainya. 

"Di Undang-undang disebutkan penyandang disabilitas bisa menunjuk orang terdekat untuk mendampingi. Misal ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), mereka bisa langsung datang ke TPS bisa milih sendiri juga asal memenuhi syarat. Kalau disabilitas fisik yang punya keterbatasan boleh menunjuk orang terdekat atau petugas kami nanti ada berita acara untuk membantu," kata Naafilah Astri kepada DW Indonesia.

"Sejak putusan MK Nomor 135/PUU-XXIII/2015 KPU langsung menindaklanjuti pemilih yang disabilitas termasuk ODGJ dan mental," ucapnya.

Sebagai informasi, secara nasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan 1.101.178 orang penyandang disabilitas sudah tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024. Jumlah pemilih penyandang disabilitas ini mencakup 0,54% dari total 204,8 juta pemilih nasional. Pemilih dengan penyandang disabilitas ini terbagi menjadi empat kategori, yakni disabilitas fisik, sensorik, mental, dan disabilitas intelektual. (ae)