1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PanoramaIndonesia

Hapus Stigma Negatif Warga Berkebutuhan Khusus Lewat Batik

2 Januari 2024

Meski telah mandiri di rumah, warga berkebutuhan khusus juga ingin bekerja dan memiliki penghasilan sendiri tanpa bergantung ke anggota keluarga. Namun, tantangan kerap membayangi.

https://p.dw.com/p/4amFg
Sejumlah karya para penyandang autis yang dipamerkan
Sejumlah karya para penyandang autis yang dipamerkanFoto: Leo Galuh/DW

Florian Faris Warihanggoro, 23, dengan penuh senyum dan mata berbinar menjawab sapaan DW Indonesia. Rian, panggilan akrabnya, didampingi oleh sang ibu, Salsalia Anggaraswati saat berbincang di Butik Batik Dama Kara di Cihapit, Bandung.

"Teman-teman di sini sudah paham bagaimana menangani anak berkebutuhan khusus," ujar Salsalia. Tak lama, Rian pun ikut menimpali pembicaraan bahwa dia bahagia bisa magang kerja di butik itu.

Pekerjaannya antara lain memotong dan mencuci kain sebelum dicelup warna. Selain itu, ada pula waktu makan dan bernyanyi bersama rekan kerja lainnya.

Rian adalah mahasiswa penyandang autis lulusan Art Therapy Center (ATC) Widyatama, Bandung, yang berkesempatan menempuh magang kerja di Dama Kara sejak Mei 2022. Di sana, Salsalia berharap putra sulungnya bisa belajar berinteraksi dengan orang lain dan memahami suasana kerja di tempat kreatif yang tidak kaku.

Belajar bertanggung jawab

Sementara itu, Raihan Abiyyuda, 25, mahasiswa ATC Widyatama penyandang Borderline Personality Disorder (BPD atau Borderline) merasa senang hasil karyanya bisa dipajang di Butik Batik Dama Kara.

Borderline atau kepribadian ambang adalah kondisi kesehatan mental yang disertai emosi ekstrem dan kesulitan membentuk hubungan yang kuat dan stabil dengan orang lain. Remaja dengan BPD sering kali mudah marah, impulsif, dan cepat percaya bahwa orang lain telah berbuat salah terhadap mereka, seperti dikutip dari Child Mind Institute. 

Menurut Any Djatiningtyas, ibu dari Raihan Abiyyuda, putranya sudah mandiri di rumah. Namun, pemuda yang biasa disapa Abi ini ingin sekali bekerja dan memiliki penghasilan sendiri tanpa minta dari ayah ibunya, kata Any.

"Abi ingin punya rasa tanggung jawab. Saya tanya Abi mau melamar kerja ke mana, tahu apa yang harus disiapin," ujar Any.

Tantangan dunia kerja bagi warga berkebutuhan khusus

Kendati Rian dan Abi memiliki pengalaman magang kerja, bukan berarti keduanya bisa mudah diterima di bursa tenaga kerja. Tidak banyak perusahaan atau UMKM yang mau memberi peluang kerja bagi individu berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas. Padahal, ibu kota provinsi Jawa Barat ini adalah salah satu kota jasa di Indonesia yang menjadi rumah bagi banyak perusahaan skala nasional maupun lokal.

Menurut Open Data Jabar, tercatat ada 49.349 penyandang disabilitas di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat.

"Pesimis. Mau kerja di mana?” jawab Any dengan wajah keprihatinan. Namun, ia meyakini kemampuan yang Abi miliki saat ini disiapkan untuk memulai usaha sendiri.

Salsabila juga melontarkan pendapat serupa. Ia menyadari bahwa Rian, putranya, punya beberapa keterbatasan yang membuat peluang diterima bekerja menipis.

"(Peluang) lebih terbuka bila kerja online, jualan di online daripada kerja formal," kata Salsabila kepada DW Indonesia.

Berikan ruang untuk berkreasi

Sementara itu, pendiri Dama Kara, Nurdini Prihastiti, 33, menuturkan bahwa perusahaannya ingin memberikan manfaat sosial yang berkelanjutan. Dini, panggilan akrabnya, melihat bahwa anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas punya kelebihan yang layak dikembangkan.

Pada tahun 2019, saat mengonsep model bisnis Dama Kara, Dini bekerja sama dengan Our Dream Indonesia, yakni pusat terapi anak dan remaja berkebutuhan khusus untuk mencari bakat-bakat yang bisa disalurkan ke Dama Kara. 

Pendiri Butik Dama Kara, Nurdini Prihastiti (kiri)
Pendiri Butik Dama Kara, Nurdini Prihastiti (kiri)Foto: Leo Galuh/DW

"Saya ingin memberi ruang bagi kelebihan mereka tersalurkan dengan terus berkarya,” ujar Dini kepada DW Indonesia. Dirinya juga tidak memberi batasan usia kepada anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas untuk magang kerja di Dama Kara.

Saat ini ada delapan anak berkebutuhan khusus dan satu penyandang disabilitas yang karya dari terapi gambarnya lolos kurasi Dama Kara. Mereka semua telah dilatih dengan metode terapi menggambar dari kedua lembaga tersebut.

Dini pun menerapkan lingkungan kerja inklusif sebagai nilai perusahaannya. Kemampuan berkomunikasi dan empati kepada anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas menjadi salah satu syarat untuk calon karyawan yang bekerja di perusahaannya.

"Saat rekruitmen, saya selalu menanyakan apakah mereka siap bekerja sama dengan teman-teman istimewa," ujar Dini. Tidak hanya itu, peserta magang juga diharapkan bisa mandiri tanpa pendamping setelah hari pertama magang kerja di Dama Kara.

"Pertemuan pertama perlu didampingi, setelah itu dilepas. Supaya mereka lepas berekspresi," kata Dini.

Tren lingkungan kerja inklusif

Fendo Parama Sardi, Program Manager Yayasan Cheshire Indonesia yang mengadvokasi hak-hak penyandang disabilitas, menjelaskan bahwa banyak perusahaan di Indonesia sudah mulai merangkul penyandang disabilitas. Ia mengacu pada Undang Undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mewajibkan perusahaan swasta mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah pegawai.

"Apalagi isu sekarang tentang global sustainability, lingkungan, dan inklusivitas, termasuk juga no one left behind. Tren akan meningkat," kata Fendo kepada DW Indonesia.

Ia mengatakan bahwa manajemen perusahaan perlu memberikan pembinaan kepada karyawan untuk membantu pekerja penyandang disabilitas. Tujuannya agar karyawan memahami kebutuhan dan bantuan apa yang bisa diberikan kepada pekerja penyandang disabilitas. Termasuk cara berkomunikasi, tambahnya.

Selain itu, perusahaan juga perlu menyediakan fasilitas ruangan atau infrastruktur yang ramah terhadap penyandang disabilitas, kata Fendo.

Namun, Fendo menekankan bahwa orang berkebutuhan khusus memang ada penanganan yang berbeda karena mereka sulit untuk fokus dan mengikuti arahan. Ia mengingatkan bahwa mereka pada dasarnya perlu terapi sepanjang hidup. Bakat mereka cenderung lebih ke arah seni terutama yang sifatnya abstrak untuk menuangkan perasaannya.

"Kelebihan teman-teman autis dan down syndrome adalah ekspresi mereka yang tulus," ujar Fendo. (ae)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).