1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Terapi Realitas Virtual untuk Melawan Fobia

Britta Wulf
1 Januari 2024

Eksposisi jadi elemen penting untuk sukses dalam terapi menghilangkan fobia. Untuk melatih diri, orang bisa sengaja berhadapan dengan rasa takut yang diwujudkan lewat realitas virtual.

https://p.dw.com/p/4ahrx
Helm dan headset untuk realitas virtual
Helm dan headset untuk realitas virtual, inovasi terknologi terbaru 2023Foto: Jeff Chiu/AP/picture alliance

Persiapan terapi di tempat praktik ahli psikologi dan psikoterapi Dr. Sebastian Erbe kelihatannya seperti akan segera memulai main game di komputer. Dan memang bisa dibilang demikian. Untuk menangani penyakit psikologis, Erbe sejak beberapa bulan lalu menggunakan teknik yang dikenal dari game komputer.

Dia memberikan terapi kepada orang-orang yang menderita sindroma ketakutan berlebihan alias fobia, dengan bantuan realitas virtual. Dr.Erbe menjelaskan, "Ini penanganan fobia. Tepatnya fobia terhadap lingkungan sosial. Misalnya, takut salah dinilai orang lain, atau takut penilaian kritis dari orang lain. Demikian pula dengan agorafobia atau rasa takut melewati tempat ramai. Atau rasa takut menggunakan angkutan umum."

Fobia-fobia itulah yang paling sering jadi masalah pasien yang datang ke kliniknya. Itu juga jadi masalah besar dalam kehidupan sehari-hari. Jika penderita tidak bisa menggunakan angkutan umum untuk pergi dari A ke B, mungkin ia jadi tidak bisa pergi bekerja, atau pergi ke mengunjungi rumah teman. Akibatnya penderita fobia akan menarik diri dan terkucilkan dari kehidupan sosial, dan sebagainya.

Terapi Ampuh bagi Penderita Fobia

Penyakit ketakutan berlebihan dan tanpa alasan seperti itu, sejauh ini biasanya diobati lewat terapi percakapan. Juga lewat konfrontasi pasien dengan penyulut rasa takutnya yang dikenal dengan sebutan latihan eksposisi. Sekarang, metodenya masih seperti itu. Bedanya, situasi semacam itu sekarang bisa dilatih terlebih dahulu secara virtual di ruangan yang aman.

"Bagusnya, pasien bisa menghemat waktu," kata Sebastian Erbe. Selain itu, pasien jadi punya akses yang mudah ke terapi ini. Para pasien juga lebih mudah menerima terapi terbaru ini. Hal itu bisa dilihat dengan jelas dan terbukti. Mereka juga bisa dengan mudah ambil bagian dalam latihan eksposisi.

Prinsip realitas virtual dalam terapi

Untuk memperjelas prinsip virtual reality dalam terapinya, Dr. Sebastian Erbe meminta seorang koleganya Kirsten Straßburger yang juga menderita gangguan rasa takut alias fobia untuk mencoba terapi realitas virtual. Dan ia menempatkan diri pada situasi virtual tanpa prasangka. Dokter dan kamera hanya bisa melihat situasi secara dua dimensional. Tapi dengan terapi realitas maya situasinya bagi penderita justru menjadi lebih nyata.

Setelah mencobanya, Kirsten Straßburger mengungkapkan, "dengan virtual reality rasanya seperti jika berbicara dengan seseorang yang tidak dikenal di jalanan." Orang tetap harus bicara dengan meyakinkan. Misalnya seperti dengan pria yang meminta rokok dari dia dalam latihan eksposisi realitas virtual itu. Dia menjawab kepada orang itu bahwa dia bukan perokok. "Ini juga sekarang ada dalam kehidupan nyata," ujar Kirsten Straßburger.

Mereka yang berpikir, bahwa sebagian besar game komputer punya kualitas grafik jauh lebih baik, tentu benar. Tapi skenario terapi tidak harus lebih berkualitas tinggi dibanding grafik dalam realitas virtual ini.

Dr. Sebastian Erbe yang ahli psikologi dan psikoterapi mengatakan, secara rasional kita tahu pasti, ini semua tidak nyata. "Tapi sistem otak yang mengatur perasaan takut tidak peduli itu semua. Grafik yang kualitas definisi pikselnya lebih buruk juga sudah cukup untuk mengaktifkan rasa takut tertentu, jika memang ada gangguan fobia," kata Erbe.

Walau begitu, kalaupun orang tidak takut ketika mengenakan kaca mata 3D, dan menghadapi realitas virtual dihadang oleh polisi yang mengajukan berbagai pertanyaan, dan bisa menjawab dengan cepat, yang sudah pasti adalah, sistem rasa takut pada manusia adalah perasaan yang sangat primitif.

"Rasa takut sangat mudah menjadi aktif," demikian kata Sebastian Erbe. Itu juga masalahnya dalam penyakit fobia ini. Para ahli sekarang terus meneliti potensi terapi dengan realitas virtual, agar juga bisa digunakan dalam jenis fobia lainnya. (ml/as)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!