1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tanpa Perempuan: Pertemuan Pertama Majelis Nasional Taliban

Shabnam von Hein | Ahmad Hakimi
7 Juli 2022

Pertemuan pertama Majelis Ulama Afganistan bentukan Taliban menghadirkan semua tokoh agama dan pemimpin adat dari penjuru negeri. Namun pertemuan nasional itu justru mengabaikan satu kelompok penting: Perempuan.

https://p.dw.com/p/4Dnxt
Pertemuan ulama Afganistan
Pertemuan ulama AfganistanFoto: Wakil Kohsar/AFP/Getty Images

Untuk pertama kalinya sejak merebut kekuasaan di Afganistan, Taliban menggelar pertemuan majelis perwakilan yang mengundang ulama dan tokoh adat dari penjuru negeri. Acara selama tiga hari itu berakhir Sabtu (4/7) silam. Ia dibentuk serupa Loya Jirga atau parlemen di era Republik Islam Afganistan.

Lembaga baru ini diberi nama Majelis Ulama Afganistan yang kelak memangku fungsi legislatif.

Namun pertemuan pertama para ulama gagal memberi kejelasan soal nasib perempuan, terutama apakah remaja perempuan boleh kembali bersekolah. Hingga berita ini diturunkan, Taliban juga belum menjawab pertanyaan DW terkait hal tersebut.

Asing tidak boleh campur tangan

"Taliban ingin mendemonstrasikan kepada dunia, bahwa mereka mampu menggelar majelis perwakilan yang dihadiri semua tokoh berpengaruh dan perwakilan etnis,” kata bekas diplomat Afganistan, Asis Meradsh, kepada DW.

Lebih dari 3.000 laki-laki diundang oleh kelompok militan Islam itu ke ibu kota Kabul. Kehadiran mereka sekaligus menjadi baiat kesetiaan kepada pemimpin sipiritual Taliban, Haibatullah Akhundzada. 

Aktivis Afganistan Memperjuangkan Hak-hak Perempuan

Dia untuk pertamakalinya tampil di hadapan publik saat menghadiri pertemuan anggota majelis ulama. "Jayalah Emirat Islam Afganistan,” pekik hadirin menyambut kedatangan sang pemimpin besar.

Mereka menuntut agar dunia internasional mengakui pemerintahan Taliban dan membebaskan dana Afganistan yang dibekukan di luar negeri. 

Haibatullah Akhundaza yang berstatus "Amirul Mukminin” memegang kekuasaan tertinggi di Emirat Afganistan. Dalam sambutannya pada pertemuan di Kabul itu ia menyatakan diri, "bukan pemimpin simbolik yang mendapat legitimasi dari pemilihan umum.” 

Dalam pidatonya selama satu jam, dia antara lain berjanji akan menjalankan perintah Allah di Afganistan, bahkan jika dunia menjatuhkan "bom atom” melawan Taliban. "Kita sepenuhnya milik Allah,” tuturnya.

Akhunzada juga secara tegas menolak campur tangan asing. "Mereka bilang, ‘kenapa kalian tidak melakukan hal ini atau hal itu',” kata dia. ”Kenapa kalian mencampuri pekerjaan kami?”

Dia menuntut diplomat Taliban untuk "lebih tegas” dalam bersikap karena "dunia tidak akan mudah menerima bahwa kalian menerapkan Syariah Islam.” Dengan ucapannya itu, Akhundzada mengindikasikan sikapnya terhadap tuntutan internasional untuk menjamin hak dasar bagi perempuan.

"Modernitas” hanya pemanis bibir

Sejak mulai berkuasa Agustus 2021 lalu, Taliban secara sistematis mengebiri hak perempuan. Puncaknya adalah hilangnya keterwakilan perempuan di parlemen yang sudah diperjuangkan sejak era Republik Islam Afganistan.

Padahal pada 2019 lalu, Presiden Ashraf Ghani dirayakan karena berhasil meloloskan kuota perempuan sebesar 30 persen di Loya Jirga. Pada tahun 2020, sekitar 700 perempuan turut mengisi keanggotaan parlemen. 

"Semua kemajuan yang dicapai selama tahun-tahun terakhir dibuat sirna,” kata Komisaris HAM PBB, Michelle Bachelet, belum lama ini.

Belum jelas bagaimana PBB dan dunia internasional ingin memulihkan hak perempuan Afganistan. Utusan khusus AS untuk Afganistan, Rina Amiri, mengeluh lewat Twitter, betapa tekanan dunia gagal menggerakkan Taliban untuk menghormati perempuan. 

Bekas Presiden Afganistan, Hamid Karsai, memaknai istilah "pendidikan modern dan keamanaan” dalam resolusi penutup Majelis Ulama Afganistan sebagai indikasi, bahwa perempuan akan kembali diizinkan bersekolah.

Namun dalam wawancara dengan harian Jerman, FAZ, itu, dia juga mengakui bahwa Taliban terkesan lamban mendorong keterwakilan etnis yang merata di pemerintahan. 

rzn/as