1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Sewa Pacar, Upaya Kesepian Kaum Urban Redam Tuntutan Sosial

31 Oktober 2022

Mayoritas 'kawan' yang disewa bisa jadi teman curhat, hang out, atau nonton bareng, tapi tidak melayani urusan seks. Tidak adanya komitmen dan 'biaya maintenance' membuat jasa ini mulai dilirik.

https://p.dw.com/p/4IqXW
Ilustrasi sekelompok orang akan meminum sampanye
Teman atau pacar yang disewa juga bisa untuk hangout dan dipamerkan ke media sosialFoto: Dasha Petrenko/Zoonar/picture-alliance

Tak ada rotan akar pun jadi, tak punya pacar, sewa pun jadi. Keinginan kuat untuk punya pasangan yang selalu menemani tiap saat membuat Gabriela Setya rela mencoba melakukan apa pun demi punya pacar.

"Tahunya dari iklan yang bersliweran di media sosial. Beberapa kali sempat lihat dan kayanya seru," kata Gabriela kepada DW Indonesia.

Keinginan untuk mencoba jasa pacar sewaan adalah lantaran tuntutan lingkungan. Kebanyakan teman-temannya sudah punya pacar, kerap diantar jemput, sampai 'diapelin' dan diajak jalan-jalan. Hal-hal yang dianggap romantis itu membuatnya iri dan ingin punya pacar. Namun apa daya, dia belum juga mendapatkan kekasih.

"Belum lagi, di rumah ditanyain terus sama mama dan papa, mana pacarnya, kapan dikenalin? Gerah deh pokoknya."

"Lumayan kalo ada jasa sewa pacar ini 'kan, waktu teman lagi pada sibuk dan ga bisa diajak nongkrong jadi enggak keliatan sendirian saja. Gimana gitu kalau keliatan sendirian, malu kayak nggak punya teman. Sendirian banget, Mbak?" ucapnya diiringi tawa.

Bukan cuma Gabriella, Avianti Putri juga mengaku penasaran ingin mencoba jasa ini. Hanya saja, Avi mengaku sebatas untuk seseruan semata. "Buat nemenin ke event sih, bisa kondangan, konser, atau event lain. Tapi enggak sampai bawa ke orang tua nanti mereka malah ngarep buat nikah."

"Pengen coba, tapi sampai sekarang belum ada momen aja sih yang bener-bener harus sewa pacar, tapi di sisi lain ada juga sedikit takut baper."

Lantas, kenapa ingin coba jasa sewa pacar?

"Ingin tahu saja rasanya nyewa orang yang pura-pura jadi pacar, servis yang dikasih seperti apa dan apakah benaran bisa bikin orang sekitar saya percaya kalau dia pacar saya," kata Avianti kepada DW Indonesia.

"Enggak ada ikatan selayaknya pacar benaran yang kadang bikin ribet. Tapi di sisi lain bisa ada negatifnya, ya kalau ketahuan itu sewaan, seakan-akan benaran enggak laku."

Bukan untuk layani masalah ranjang

Benarkah jasa semacam ini ada di Indonesia? Cari saja di mesin pencari dengan kata kunci: jasa sewa pacar Indonesia, beberapa nama penyedia layanan pun langsung muncul. Dalam promosi yang sebagian besar lewat media sosial, para penyedia jasa layanan ini juga menuliskan kisaran harga dan foto-foto 'calon teman' yang bisa 'disewa'. Mayoritas 'calon teman' ini adalah perempuan.

Jasa sewa pacar ini tersedia di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, dan Malang. Mayoritas 'kawan' yang disewakan adalah perempuan yang bisa menjadi teman curhat, teman mabar (main bareng), hang out, nobar (nonton bareng), atau bahkan sekadar mengobrol, tapi tidak melayani hal yang berbau seksual.

Rate yang ditetapkan pun bervariasi tergantung jasa yang ditawarkan. Rata-rata untuk kencan online harganya berkisar Rp40 ribu per hari dengan berbagai jasa tambahan seperti video call, voice call, dan lainnya. Ada juga jasa chatting sampai 1 bulan dengan harga Rp600 ribu. 

Tarif kencan offline atau tatap muka harganya berkisar Rp300 ribu per tiga jam. Biaya ini sudah termasuk  rangkul pundak, gandeng tangan, foto bareng, sandar pundak, dan permintaan gaya busana.

Ada pula jasa yang menyediakan jasa sewa pacar dan teman untuk laki-laki dan perempuan. Mulai dari teman jalan-jalan, olahraga, belajar, atau bahkan untuk sekedar mengisi waktu luang. Tarif yang ditawarkan berkisar antara Rp75 ribu hingga Rp1,5 juta per jam.

Kesepian melanda kaum urban

Kepada DW Indonesia, psikolog Mira Amir mengaku sempat terkaget saat mengetahui bahwa bisnis jasa ini sudah ada di Indonesia.

"Kalau sewa pacar ini kan banyak pantangannya. Ada kesepakatan antara pengguna dan pemberi jasa, ada catatan waktunya, termasuk aturan soal kontak fisik. Terkadang ada orang yang cuma butuh teman dalam kondisi tertentu, sisanya tidak ada komitmen lain."

Jauh sebelum muncul di Indonesia, Mira mengatakan bahwa jasa sewa pacar ini sudah muncul di negara-negara lain seperti Cina dan Jepang. Kemunculannya di Indonesia dan negara lain menjadi sebuah tanda terjadinya adopsi budaya. Artinya, budaya yang ada dan dianggap lazim di negara lain kemudian diadopsi dan diadaptasi di Indonesia.

Kombinasi adopsi budaya, kebutuhan, tuntutan lingkungan serta hukum permintaan dan penawaran membuat fenomena ini muncul di Indonesia. Namun Mira juga menyoroti 'masalah' lain dari sisi psikologis yaitu kesepian yang kerap dialami masyarakat perkotaan.

Dari 'membungkam pertanyaan' hingga flexing

Mira Amir juga mengungkapkan bahwa fenomena jasa sewa pacar ini ikut merebak karena tuntutan masyarakat, bukan cuma orang tua tapi juga media sosial. Selain itu, ada juga alasan untuk bisa flexing atau untuk memamerkan sesuatu, utamanya di media sosial.

"Orang saat ini dituntut untuk mengikuti apa yang biasanya dilakukan orang-orang sebelumnya, bahwa orang harus punya pasangan dan menikah. Bahkan di media sosial pun harus terlihat sempurna di layar." 

Lebih lanjut ia mencontohkan tawaran jasa pendamping wisuda yang telah terlebih dahulu muncul. Penawaran ini juga datang dari besarnya 'tuntutan' dari sekitar untuk diwisuda tidak hanya ditemani orang tua. Ia mengakui tidak mudah untuk begitu saja mengabaikan tuntutan ini. 

Menurutnya, jasa sewa pacar ini menjadi sebuah alternatif baru lantaran ada beberapa tipe orang yang belum berencana atau bisa jadi ogah ribet untuk mengelola hubungan dalam jangka panjang. Ada indikasi bahwa ternyata memulai dan membina hubungan itu bukan hal yang mudah, ujarnya.

"Ada yang berpikir kalau bisa sewa, pengeluarannya sudah jelas. Kalau pacar (benaran) bisa banyak biaya 'maintenance' ditambah banyak yang menuntut tiap pagi harus disapa, 'good morning,' 'sudah makan belum.' Kalau sewa pacar, kalau udah selesai ya sudah, tidak ada tuntutan."

Tidak semua orang 'berani'

Hanya saja, tidak semua orang memilih berani menyewa jasa ini. Yudha Putra, pekerja kreatif di Jakarta mengungkapkan bahwa sekalipun pekerjaannya menyita banyak waktu, dia tidak terpikir buat memakai jasa ini.

"Kalau dipikir-pikir, sebenarnya ada beberapa alasan buat sewa, karena udah masuk umurnya ditanya-tanya soal gandengan. Mungkin dipikirnya, abis pakai jasa ini kayak sudah bisa membungkam mulut dan pikiran orang."

"Tapi buat saya hal ini hanya menyelamatkan dalam hitungan jam. Lalu kalau akhirnya tergantung dengan hal itu untuk menutupi kebohongan dengan kebohongan lain, malah jadi ribet." Yudha mengaku teman-temannya saat ini masih bisa jadi teman nongkrong sehingga dia tidak begitu merasa kesepian.

"Sah-sah saja sih, untuk mereka yang merasa sewa pacar adalah short cut untuk membungkam mulut dan pikiran orang, hal ini tentu menguntungkan. Tapi yang pasti ini bukan buat jangka panjang."

Eka Santhika juga punya pemikiran senada. Sebagai perempuan berusia kepala 3, dia mengaku bisa saja memilih jasa ini. Namun, dia sama sekali tak berminat untuk 'mencicipi' servis yang mungkin bisa membuat hidupnya, setidaknya selama sehari, lebih mudah. Ia bisa dapat teman mengobrol, dan mungkin bisa 'terlihat' punya pacar.

"Menarik sebenarnya, soalnya mencari pasangan pasangan ternyata sebegitu beratnya sampai mau bayar cuma demi status dan dilihat orang lain kalau 'kita normal' atau diinginkan karena kita tampak terlihat bersama seseorang," katanya.

"Saya belum sampai segitunya mau bayar orang buat cari teman."

Alih-alih ingin menyewa, dia malah cenderung tertarik buat mencoba menjadi salah satu anggota jasa penyewaan itu. "Lumayan ya kayaknya, bisa dapat uang dengan mudah dan cepat," candanya. (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.