1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Sekeluarga Terjangkit Virus COVID-19 di Tanah Rantau

10 Januari 2021

Keluarga kecil asal Indonesia di Bayern ini terjangkit virus COVID-19 secara bersamaan. Bagaimana mereka melewati masa-masa itu tanpa kerabat di sekitar maupun asisten rumah tangga?

https://p.dw.com/p/3mw0L
Ellen Wijaya dan keluarganya
Keluarga Ellen Wijaya semua terjangkit virus COVID-19Foto: Privat

Koko Suwono dan istrinya Ellen Wijaya tidak pernah membayangkan sebelumnya, bisa  sampai terkena virus COVID-19 sekeluarga, termasuk menjangkiti anak semata wayang mereka.

Mimpi buruk itu tiba di awal musim dingin 2020, tatkala wabah COVID-19 jilid II melonjak di Jerman. Di sebuah hari Jumat jelang akhir Oktober 2020, Koko pulang dari kantornya dan mengeluh tidak enak badan. Ia minum aspirin dantidur lebih awal. “Gejala awalnya batuk, jadi tidak terpikir terkena corona. Saya pikir karena musim dingin biasanya kadang terkena flu. Tapi hari Sabtu dan Minggunya terasa sakit di tulang-tulang,” ungkap Koko. Demamnya hingga 38 derajad Celsius.

Saat itulah Koko curiga ia terkena virus COVID-19. Sementara pada saat itu, anak dan istrinya masih belum menunjukkan gejala apa pun. Namun Koko dan Ellen akhirnya memutuskan untuk tes PCR pada hari Senin.

Hari Rabu, hasil tes PCR mereka terima dan ketiganya baik Koko, Ellen dan anak balitanya, positif COVID-19. Koko yang bekerja di bidang konstruksi menduga ia terjangkit virus COVID-19 dari tempat kerjanya. “Karena di antara kita bertiga yang paling banyak berinteraksi dengan banyak orang itu suamiku. Saya belakangan ini hanya ke supermarket, dan mengantar anak sekolah. Sementara sekolah anakku juga ketat. Kalau di masa pandemi seperti ini, jika ada anak-anak yang batuk pilek atau demam sedikit saja tidak boleh masuk,” ujar Ellen.

Banyak makan makanan bergizi

“Ketika suamiku kondisinya turun, kami kita telepon ke hotline COVID-19 yang ada di sini dan berkontak dengan dokternya via online,  suamiku menjelaskan kondisinya dan dokter itu hanya bilang kalau kita perlu menyiapkan Ibuprofen dan obat batuk,” demikian Ellen menceritakan. Ia pun menyiapkan vitamin-vitamin dan merebus air jahe dicampur kunyit dan lemon dengan tambahan.

Di hari kelima sakit, Koko tidak bisa merasakan makanan dan kehilangan indera penciuman. Di hari ke-11 Koko merasa lebih sehat, namun di hari yang sama giliran Ellen yang bergejala dan seperti Koko, indera perasa dan penciumannya terganggu. Ia menjabarkan: “Tentunya karena kita tak bisa cium dan merasakan, nafsu makan berkurang, tapi di situ menurut kami, kita harus paksakan makan yang banyak supaya badan kita juga kuat. Karena kan obat untuk COVID-19 belum ada ya. Jadi kita pikir satu-satunya cara untuk melawan virus itu ya imunitas badan kita sendiri, jadi makan itu harus tetap banyak yang bergizi.” Koko menambahkan: “Kami makan banyak sekali untuk bisa kembali kuat, itu benar-benar terasa membantu.”

Hari ke-14, keduanya sudah merasa pulih. Namun ketika Koko kembali mencoba bekerja, kondisinya kembali turun, dan terpaksa beristirahat lagi. Mereka merasa beruntung, anaknya yang juga positif COVID-19, tidak mengalami gejala apa pun. Sementara Ellen butuh dua pekan untuk pulih, Koko butuh waktu tiga minggu untuk bisa sehat kembali.

Mengandalkan teman di perantauan

Hidup di rantau tanpa kerabat dan menderita sakit sekeluarga, menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Koko dan Ellen. “Memang itu tantangan tersendiri juga ya. Jadi kita bertiga karantina di rumah dan untuk kebutuhan kita seperti makanan, semuanya itu saya minta tolong sama teman yang ada di kota ini. Saya minta tolong dia untuk belanja kebutuhan kita dan jadi dia taruh di depan apartemen kami. Begitu dia pergi biasanya kami mengenakan masker dan sarung tangan untuk mengambilnya,“ kenang Ellen.

“Sementara sampah tidak bisa juga didiamkan di dalam rumah, bisa bau. Jadi kami biasanya menunggu malam tiba, saat tetangga mungkin sudah lelap, kami mengenakan masker dan sarung tangan membuang sampah ke penampungan sampah di gedung apartemen kami,“ tambah Koko.

Bukan orang Indonesia jika ketinggalan istilah ‘untungnya’. “Terus juga untungnya ada kebaikan Tuhan. Jadi saat suami aku lemah kondisinya, di situ sayasama sekali tak bergejala, jadi saya bisa jaga anak aku dan saat suami saya di hari ke-11 udah mulai merasa segar giliran saya yang malah lemah, jadi gantian terus sehingga salah satu ada yang menjaga anak kita,“ papar Ellen sambil tersenyum. Ia tidak pernah bisa membayangkan   jika dirinya dan suami bersamaan turun kondisinya, sedangkan anak mereka yang berusia empat tahun itu masih sangat aktif. “Pasti mengajak kita main terus dan siapa juga yang masak, yang mengurus rumah,“ pungkas Ellen.