1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikMyanmar

Myanmar: Perang Saudara dan Kubu-Kubu Kelompok Etnis

1 Mei 2024

Kudeta militer empat tahun lalu, menjerumuskan Myanmar ke dalam perang saudara. Sekarang makin banyak kelompok bersenjata yang terpecah-pecah dalam kelompok etnis.

https://p.dw.com/p/4fLui
Anggota Tentara Pembebasan Karen di Myanmar
Anggota Tentara Pembebasan Karen di MyanmarFoto: METRO/AP/dpa/picture alliance

Perang saudara di Myanmar sudah berlangsung selama empat tahun dan belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Pada bulan Oktober 2023 di negara bagian Shan, pasukan junta militer, yang dikenal sebagai Dewan Administratif Negara SAC, kehilangan kendali atas sebagian wilayah di perbatasan dengan Cina.

Awal April tahun ini, kota perbatasan Myawaddy, yang merupakan titik transit penting bagi arus barang antara Thailand dan Myanmar, jatuh ke bawah kendali suku Karen, kelompok etnis minoritas yang telah berperang melawan pemerintah pusat selama beberapa dekade. Tapi akhir April, pasukan SAC kembali merebut Myawaddy. Situasinya masih fluktuatif.

Di sisi lain Myanmar, di perbatasan barat dengan Bangladesh, kelompok etnis bersenjata Tentara Arakan menyulitkan pasukan SAC. Berada dalam tekanan besar di wilayah perbatasan, pasukan junta  hanya mampu melancarkan serangan balasan dari udara atau dengan artileri jarak jauh.

"Perang Saudara sedang berlangsung dan tidak akan berhenti dalam waktu dekat,” kata seorang pakar dari Yangon, yang tidak mau disebutkan namanya karena alasan keamanan, kepada DW.

Antrean warga yang ingin mendapat visa di depan Kedutaan Thailand di Yangon
Antrean warga yang ingin mendapat visa di depan Kedutaan Thailand di YangonFoto: AFP/Getty Images

Sejarah terulang kembali

Situasi dramatis seperti ini juga pernah terjadi di masa lalu. Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, belum pernah menjadi negara yang berfungsi penuh sejak memperoleh kemerdekaan pada tahun 1948. Tidak ada pemerintah pusat yang berhasil memerintah seluruh wilayah negara.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Karena terdiri dari banyak etnis, tidak ada identitas nasional yang pernah muncul. Intensitas konflik di antara wilayah-wilayah etnis meningkat dan surut silih berganti selama 76 tahun terakhir.

Namun kudeta militer terhadap pemerintahan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 membuka fase fragmentasi yang samasekali baru. Perpecahan antar etnis makin jelas terlihat. Kalangan pengamat menilai, kemungkinan disintegrasi Myanmar semakin meningkat.

Makin banyak kelompok bersenjata

Situasi konflik di Myanmar yang sudah rumit kini menjadi semakin kompleks. Sebelum kudeta militer tahun 2021, ada sekitar 24 kelompok etnis bersenjata di Myanmar dan ratusan kelompok milisi. Jumlah pasukan di setiap kelompok bervariasi dari beberapa ratus hingga sekitar 30.000 orang, seperti misalnya Tentara Negara Bersatu USWA dan Tentara Arakan.

Sejak kudeta, ada 250 sampai 300 kelompok Angkatan Pertahanan Rakyat PDF. Jumlahnya keseluruhan diperkirakan sekitar 65.000 pejuang. Beberapa kelompok PDF berada di bawah kendali Pemerintah Persatuan Nasional NUG, beberapa bertindak secara independen, sedang yang lainnya berkoordinasi erat dengan kelompok etnis bersenjata yang lebih besar.

Selain itu, masih ada kartel-kartel kriminal yang berhasil memperbesar pengaruhnya selama empat tahun terakhir. Sementara konflik antar suku juga masih terus terjadi, meski fokusnya saat ini adalah untuk melawan junta militer.

Di masa lalu, diskusi mengenai masa depan Myanmar sering berfokus pada bagaimana membangun struktur politik yang mewakili semua kelompok etnis. Sampai saat ini pun tetap ada upaya untuk membangun konstitusi federal yang demokratis, namun prosesnya sangat sulit. Beberapa kelompok menarik diri dari perundingan, sementara yang lain menolak ambil bagian.

Di antara negara-negara tetangga Myanmar, kekhawatiran juga semakin meningkat. Tetapi mereka tetap berusaha menjaga hubungan dengan junta militer. "Mereka melakukan kebijakan luar negeri yang 'mementingkan diri sendiri dan sinis', yang membuat semua opsi tetap terbuka," kata Richard Horsey dari lembaga tangki pemikir Criss Group, yang cukup lama bekerja sebagai pengamat politik Myanmar. "Mereka paham kudeta itu buruk. Mereka paham hal-hal buruk sedang terjadi di Myanmar. Namun demi kepentingan sendiri, mereka tetap menjaga hubungan dekat dengan rezim itu,” pungkasnya.

(hp/as)