1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Anak-anak Ukraina: ”Apa Masa Depan itu Masih Ada?”

27 Februari 2024

Jerman tidak hanya membantu Ukraina dalam hal senjata, tetapi juga bantuan kemanusiaan. Dukungan psikososial dan kesempatan belajar sangat penting bagi para bocah, terutama mereka yang tinggal di garis depan peperangan.

https://p.dw.com/p/4ctlE
Seorang gadis kecil di Ukraina
Seorang gadis kecil di tempat perlindungan di Mariupol (arsip foto)Foto: Evgeniy Maloletka/AP Photo/picture alliance

Di Ukraina, Maria yang berusia 16 tahun, tinggal di Kota Kryvyi Rih di wilayah Dnipro. Tempat tinggalnya itu adalah daerah yang terkena dampak perang, di mana suara sirene dan serangan udara telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari selama dua tahun terakhir ini.

"Ada peringatan serangan udara antara dua hingga sepuluh kali sehari. Masing-masing berlangsung antara 30 menit hingga empat jam. Kita tidak pernah tahu seberapa sering dan berapa lama bakal berada di tempat perlindungan serangan udara," demikian ia bercerita.

Alih-alih bersekolah, anak-anak di garis depan Ukraina malah menghabiskan waktu 5.000 jam – setara dengan sekitar tujuh bulan – di tempat penampungan sejak dimulainya perang. Demikian analisis badan PBB untuk anak-anak, UNICEF.

Di garis depan, pembelajaran di sekolah dilakukan hampir selalu secara online. Masalah terjadi ketika listrik padam dan bersamaan dengan itu internet juga ikut mati. Banyak yang lebih kecil, tutur Maria, belum pernah melihat bagian dalam sekolah dan belum pernah bertemu dengan guru mereka.

Ukraina: Anak-anak muda yang sedang berperang

Pelajar Ukraina berusia 16 tahun itu datang ke Berlin bersama UNICEF untuk menceritakan kehidupan sehari-harinya, dalam rangka peringatan dua tahun serangan Rusia ke Ukraina. Dia menceritakan tentang serangan roket dan tembakan granat, tentang ledakan, kebakaran dan kehancuran, tentang tank di luar jendela rumahnya.

Dari hari ke hari, hidupnya berubah drastis. "Maksudku, bisa jadi suatu hari aku merokok bersama teman-temanku dan kami mengeluh tentang ujian matematika. Keesokan harinya kami terbangun karena mendengar suara ledakan dan bunyi alarm serangan udara."

Masa depan sebuah generasi terancam

Pacar Maria sudah  meninggalkan Ukraina, begitu pula sebagian besar teman sekelas, sahabat dan kerabatnya. Mereka yang tetap tinggal harus hidup di tengah perang. Hal ini sangat sulit bagi anak-anak dan remaja, kata Mustapha Ben Messaoud, yang merupakan kepala program bantuan darurat UNICEF di Ukraina. "Perang ini bukan soal angka atau statistik. Ini adalah krisis yang menyerang inti masa kecil kanak-kanak dan mengancam masa depan seluruh generasi.”

Menurut data UNICEF, diperkirakan 1,5 juta anak di Ukraina berisiko mengalami depresi, kecemasan, gangguan stres pascatrauma, dan penyakit mental lainnya. "Banyak anak mengalami peristiwa traumatis ,seperti kekerasan dan kehilangan anggota keluarga atau rumah,” kata Mustapha Ben Messaoud.

Perang mempersulit anak-anak Ukraina untuk belajar

Lebih dari 3.800 sekolah rusak atau lutuh lantak. "Bagi banyak orang, ruang kelas dulunya merupakan tempat harapan dan peluang. Namun kini menjadi pengingat akan kehancuran yang diakibatkan oleh perang,” tutur Messaoud.

Selain itu, banyak anak tidak dapat bersekolah secara teratur karena masalah ancaman keamanan yang terus-menerus menghantui. Banyk murid kesulitan berkonsentrasi dan belajar, mengingat kekacauan akibat perang dan ketidakpastian yang menyelimuti kehidupan mereka.

UNICEF aktif di Ukraina dengan banyak proyek dan didukung oleh Kementerian Kerja Sama Ekonomi Federal Jerman (BMZ). Jerman telah menganggarkan 28 miliar euro untuk Ukraina sejak dimulainya perang.

Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk pertahanan . Sekitar 1,3 miliar euro telah disediakan untuk bantuan kemanusiaan melalui BMZ. "Agar Ukraina tetap kuat, dibutuhkan lebih dari sekadar senjata,” tegas Menteri Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, Svenja Schulze.

Kelas mengejar ketinggalan untuk memerangi kerugian pembelajaran

Membantu anak-anak dan remaja juga penting bagi pertahanan Ukraina, ujar sang menteri. Menurut UNICEF, pada tahun 2023, bantuan UNICEF menjangkau 2,5 juta anak-anak dan pengasuh di Ukraina – dan 1,3 juta anak-anak dan pengasuh lainnya di negara-negara yang menampung pengungsi – dengan i dukungan kesehatan mental dan psikososial.

Sebagai bagian dari bantuan kemanusiaan, 5,5 juta orang menerima akses atas air bersih dan sekitar lima juta orang menerima layanan kesehatan.

UNICEF telah menunjukkan seperti apa rekonstruksi di salah satu wilayah yang dilalui garis depan selama enam bulan pada tahun 2022 dan sebagian diduduki oleh Rusia. Dalam dua proyek, kelas catch-up atau mengejar ketertinggalan belajar dibentuk untuk mengkompensasi kerugian pembelajaran. Infrastruktur telah diperbaiki, mulai dari memulihkan infrastruktur air sesuai standar Uni Eropa (UE), hingga mendirikan pusat layanan sosial dan pusat pemuda.

Penting untuk memikirkan pembangunan kembali seluruh negara sekarang, kata Svenja Schulze. Untuk melakukan hal ini, kita membutuhkan generasi muda yang, setelah sekolah dan pelatihan, akan membangun kembali Ukraina "sebagai negara Eropa yang bebas", paparnya.

Jiwa generasi muda Ukraina yang penuh beban

Namun generasi ini akan membawa luka mendalam. "Saya rasa ada banyak anak yang menarik diri secara mental sejak Februari 2022. Mereka menahan emosi dan gagal "move on" sejak saat itu,” kata Maria.

Remaja berusia 16 tahun ini telah memutuskan untuk secara aktif memerangi perasaan-perasaan itu. Dia terlibat dalam program UNICEF untuk rekan-rekannya di komunitasnya. Terkadang dia bertanya-tanya seperti apa hidupnya kini, tanpa pecahnya perang, kata Maria. "Tapi lama-kelamaan kamu akan terbiasa dengan segalanya. Dan ketika begitu banyak hal abnormal terjadi di sekitarmu, terkadang kamu malah lupa bahwa itu bukan hal yang wajar."

Berjuang dengan rasa tidak aman

Seperti anak-anak dan remaja lainnya, perasaan Maria campur aduk antara harapan dan ketakutan ketika memikirkan masa depan. "Kita harus belajar, merencanakan masa depan, memikirkan universitas, mencari waktu untuk melakukan hobi, dan tentu saja tetap tersenyum,” ujarnya.

Namun dia juga mengatakan: "Pada saat yang bersamaan, kami tidak bisa bermimpi tentang masa depan karena kita tidak tahu apakah masa depan itu masih ada." (ap/hp)