1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikThailand

Pembentukan Pemerintahan di Thailand Masih Belum Jelas

Julian Küng
24 Mei 2023

Setelah partai prodemokrasi "Move Forward" secara mengejutkan memenangkan pemilu di Thailand, masih belum jelas apakah kubu oposisi bisa menggeser kubu militer yang memerintah.

https://p.dw.com/p/4RhpU
Ketua Partai Move Forward, Pita Limjaroenrat.
Ketua Partai Move Forward, Pita Limjaroenrat, yang memenangkan pemilu di ThailandFoto: Vachira Vachira/NurPhoto/picture alliance

Setelah kemenangan bersejarah, konvoi truk oranye dari rombongan partai oposisi "Move Forward" yang menerobos kerumunan dielu-elukan para pendukungnya. Saat Ketua Partai Pita Limjaroenrat muncul di salah satu mobil, sorakan pendukung membahana dan berteriak hampir histeris: "Perdana Menteri! Perdana Menteri!"

Move Forward pimpinan pengusaha berusia 42 tahun itu memang berhasil merebut kursi terbanyak di parlemen Thailand dan menguasai 152 kursi, disusul partai oposisi lainnya, Pheu Thai, yang merebut 141 kursi. Kedua partai kini menguasai mayoritas kursi di parlemen yang beranggotakan 500 orang.

Surin dan istrinya duduk di tepi kerumunan oranye. Mereka bersua tersenyum puas. "Sekarang masa baru telah tiba. Ini akan menjadi masa depan yang baik," kata mantan pekerja kereta api itu. "Banyak yang akan berubah di negara ini. Misalnya, hukum Lèse-Majesté akhirnya akan diubah."

Hukum Lèse-Majesté Thailand yang ditakuti mengancam pencemaran nama baik keluarga kerajaan dengan hukuman berat. Mengubah undang-undang ini adalah isu kampanye utama yang diusung "Move Forward". Selain itu, partai tersebut menjanjikan konstitusi yang demokratis dan penghapusan wajib militer.

Pita Limjaroenmat berterima kasih kepada para pendukungnya setelah "Move Forward" memenangkan pemilu.
Pita Limjaroenmat berterima kasih kepada para pendukungnya setelah "Move Forward" memenangkan pemilu.Foto: Julian Küng/DW

Apakah rezim militer akan mundur begitu saja?

Terlepas dari euforia perayaan kemenangan di pusat Kota Bangkok itu, kebanyakan pendukung "Move Forward" menyadari bahwa kemenangan di kotak suara barulah langkah awal. "Para elit militer akan melakukan segala cara untuk mencegah kami,” kata Chedsak, seorang tukang ojek dan pendukung Pita Limjaroenrat, kepada DW.

Dia khawatir kubu militer di belakang layar sudah bekerja untuk mempertahankan kekuasaan mereka. "Jika tidak memilih Pita sebagai Perdana Menteri, mereka harus berurusan dengan saya dan orang-orang yang marah," kata Chedsak bersemangat sambil mengepalkan tinjunya.

Yang dikhawatirkan Chedsak adalah 250 orang senator yang dipilih sendiri oleh junta militer. 250 orang ini, bersama 500 anggota parlemen, yang nantinya akan memilih Perdana Menteri. Aturan itu dibuat rezim militer setelah melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil pada 2017 dan mengubah konstitusi untuk memperkuat posisi kekuasaan mereka. 

Berarti, untuk menjadi Perdana Menteri di Thailand seorang kandidat membutuhkan mayoritas dari 750 suara, yaitu setidaknya 376 suara. Sejauh ini, "Move Forward" dan tujuh partai lain yang sepakat membentuk koalisi baru menguasai 313 suara. Untuk mencapai mayoritas, masih diperlukan dukungan dari anggota Senat.

Apakah cukup banyak senator, yang dekat dengan militer, akan menerima pemimpin oposisi sebagai kepala pemerintahan, masih belum jelas. Beberapa dari mereka sudah dengan tegas menolak Pita Limjaroenrat. Senator Kittisak Rattanawaraha misalnya mengatakan kepada pers lokal bahwa hanya kandidat yang setia "kepada bangsa, agama, dan monarki" yang memenuhi syarat.

Pendukung "Move Forward" Chedsak
Pendukung "Move Forward" Chedsak, tukang ojek di Bangkok.Foto: Julian Küng/DW

Tidak ada yang akan berubah?

Jika, seperti pada 2019, para senator dengan suara bulat memilih kandidat dari partai promiliter, kubu militer dapat tetap berkuasa meski kalah dalam pemilihan umum. Paul Chambers dari Universitas Naresuan di Thailand utara percaya bahwa mayoritas dapat condong memilih calon promiliter, Anutin Charnvirakul, mantan wakil perdana menteri.

"Dia seorang royalis yang dipercaya militer dan datang dengan pakaian sipil," kata Paul Chambers. Anutin Charnvirakul sendiri minggu lalu mengatakan, partainya Bumjaithai tidak akan mendukung pemenang pemilu "Move Forward " karena sikap mereka pada hukum lèse-majesté dan bahwa dia siap "untuk melindungi monarki dengan kemampuan terbaiknya." Dalam pemilu, Bumjaithai hanya memenangkan 70 kursi.

Para jenderal militer memang bisa menggunakan kekuatan mereka melalui proses pengadilan. Dalam 20 tahun terakhir, banyak partai politik yang dibubarkan di Thailand . Bahkan partai "Pheu Thai" telah dibubarkan dua kali, setelah mereka memenangkan pemilu. Partai "Move Forward" sendiri adalah reinkarnasi dari "Partai Masa Depan" yang siap maju pada pemilu 2019 namun dilarang lewat keputusan pengadilan.

Komisi pemilihan umum Thailand punya waktu hingga 60 hari untuk mengumumkan hasil resmi pemilu. Baru setelah itu seorang ketua parlemen dapat ditunjuk, yang akan menyelenggarakan pemilihan pemerintah yang baru.

(hp/yf)