1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pelarian Politik Laos Hadapi Ancaman Pembunuhan di Thailand

Tommy Walker
9 Juni 2023

Pegiat pro-demokrasi Laos di pengasingan belakangan semakin sering menjadi sasaran upaya pembunuhan di Thailand. Pemerintah di Bangkok didesak untuk segera meratifikasi konvensi PBB demi melindungi pengungsi.

https://p.dw.com/p/4SLHa
Vientiane
Ibu kota Laos, VientianeFoto: Kaikeo Saiyasane/Xinhua/picture alliance

Keselamatan pegiat politik Laos di eksil kian terancam menyusul insiden pembunuhan pada 17 Mei silam. Saat itu, jenazah Bounsuan Kitiyano ditemukan dengan tiga luka tembakan di sebuah hutan di Thailand. Pria berusia 56 tahun itu adalah anggota Free Lao, kelompok pro-demokrasi yang menggabungkan pegiat demokrasi, buruh migran dan warga pelarian Laos di Thailand.

Belakangan, anggota Free Lao semakin sering menjadi sasaran Partai Revolusioner Rakyat Lao. Partai komunis itu berkuasa sejak 1975 usai perang saudara yang meruntuhkan kekuasaan monarki di Laos.

Kitiyano termasuk ke dalam daftar panjang pegiat pro-demokrasi Laos yang dibidik pemerintah. April silam, seorang aktivis bernama Anousa "Jack" Luangsuphom, 25, ditembak di kepala saat duduk di sebuah kedai kopi di ibu kota Vientiane. Setelah selamat dari upaya pembunuhan tersebut, Jack melarikan diri dan kini bersembunyi di tempat yang dirahasiakan.

Penghilangan paksa di tempat pelarian

Otoritas Laos mengatakan serangan tersebut berkaitan dengan konflik bisnis dan bersifat pribadi. Namun, pegiat lain meyakini aksi tersebut dilakukan aparat negara untuk membungkam aktivisme Anousa Luangsuphom. Pegiat pro-demokrasi Laos sering beredar di media sosial untuk membahas dugaan korupsi, polusi, atau pelanggaran terhadap hak sipil, termasuk di antaranya adalah laman Facebook milik Anousa.

Pada 2019, langgam autoritarianisme Laos menimpa pegiat HAM Houayheung "Muay" Xayabouly. Dia ditangkap dan dipenjara selama lima tahun setelah mengritik respons pemerintah menyusul jebolnya bendungan Xe-Pian Xe-Namnoy setahun sebelumnya yang menewaskan belasan orang.

April 2023 ini, anggota Free Lao Sabang Phaleuth ditangkap dan diekstradisi dari Thailand kembali ke Laos. "Kami sejauh ini belum mengetahui nasibnya," kata Andrea Giorgetta, Direktur Asia di Federasi HAM Internasional, IFHR. "Kami tidak tahu apa yang terjadi dan di mana dia sekarang, atau bagaimana kondisinya."

"Upaya pembunuhan semakin marak dalam beberapa pekan terakhir. Laporan yang muncul membuktikan adanya eskalasi serangan terhadap para aktivis dan rival politik pemerintah," ujarnya.

China's support for Laos: Blessing or curse?

Thailand didesak ratifikasi Konvensi Suaka PBB

Ancaman bagi pegiat Laos di Thailand berkaitan dengan keengganan pemerintah di Bangkok menandatangani Konvensi Pengungsi dan Pencari Suaka PBB tahun 1951. Artinya, Thailand tidak memiliki kerangka hukum untuk melindungi pencari suaka.

Menyusul pemilihan umum Mei silam, Bangkok kini diharapkan mau meratifikasi perjanjian tersebut dan menjamin perlindungan bagi para pelarian.

"Pemerintahan baru Thailand harus mengubah kebijakannya. Tidak lagi boleh ada kebijakan mengirimkan pengungsi kembali ke petaka di sebrang perbatasan," kata Robertson dari organisasi HAM, Human Rights Watch, HRW.

"Saat ini pun anggota Free Lao sudah mulai berusaha meninggalkan Thailand, siapa yang mau menyalahkan mereka? Tidak ada perlindungan bagi Free Lao di sana," imbuhnya.

Tahun lalu, pemerintah Thailand sudah meloloskan Undang-undang untuk mencegah penghilangan paksa. Desakan untuk memperkuat status hukum pencari suaka juga datang dari perwakilan Uni Eropa yang bertamu ke Vientianne bulan ini.

"Kami sudah menggambarkan situasinya kepada Komisi Eropa," kata Giorgetta dari IFHR. "Kami biasanya menyampaikan informasi alternatif dari kalangan pegiat dan aktivis tentang pelanggaran HAM, impunitas atau hal lain."

(rzn/hp)