1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Mengajar di TK Jerman: Anak-anak Jadi Berkat bagi Gurunya

Marjory Linardy
28 Januari 2023

Mengajar murid di bawah usia tiga tahun bukan sasaran pendidikan Grace Monetta. Tetapi setelah bekerja sebagai guru TK di Jerman selama beberapa tahun, dia tidak mau melewatkan satu hari pun tanpa datang bekerja.

https://p.dw.com/p/4MnZ9
Grace Monetta
Grace MonettaFoto: privat

Grace Monetta lahir di Jakarta. Sejak tiga tahun lalu, dia bekerja sebagai Erzieherin atau pendidik, di institusi yang di Jerman disebut Kinderkrippe atau Krippe. Institusi itu berfungsi sebagai tempat penitipan anak dari pagi hingga siang hari, dan diarahkan khusus untuk anak-anak yang masih sangat kecil, yaitu antara enam bulan sampai sekitar tiga tahun. Di sana, anak-anak ditemani dan diajarkan berbagai hal oleh pendidik. Profesi itu lain dari latar belakang pendidikannya, dia dulu berkuliah di jurusan sastra Cina, Universitas Indonesia. Tapi dia merasa senang.

Setelah lulus dulu tahun 1994, dia sempat bekerja di Harian Indonesia, yaitu harian berbahasa Cina di Jakarta. Ketika itu dia bekerja sebagai penerjemah. Setelah itu, dia masih bekerja di beberapa tempat lainnya di Jakarta.

Sekarang dia sudah 23 tahun bermukim di Jerman. Ketika situasi ekonomi Indonesia sangat sulit di tahun 1999 hingga 2001, suaminya yang juga orang Indonesia dan bekerja di bidang teknik, mendapat tawaran dari perusahaan tempat dia bekerja, untuk ikut membangun divisi di Jerman, yang namanya Automation, atau otomatisasi.

Tahun 1999 suaminya berangkat ke Jerman. Rencananya hanya untuk maksimal setahun. Setelah lewat enam enam bulan, tahun 2000 suaminya mengajak Grace untuk ikut ke Jerman pula. Sehingga Grace memutuskan mengambil cuti tanpa gaji selama setengah tahun dari perusahaan tempat dia bekerja di Jakarta. Tapi setelah itu, kontrak kerja suaminya diperpanjang terus. Sampai akhirnya suatu hari, pemerintah Jerman membuat kesempatan bagi pekerja asing untuk mendapatkan apa yang disebut Green Card, untuk tinggal dan bekerja di Jerman selama lima tahun. Ketika itu, Jerman sangat kekurangan ahli teknologi informasi. Perusahaan tempat suami Grace bekerja mengajukan permintaan Green Card bagi suaminya. Sehingga dari kontrak kerja setahun, diperpanjang menjadi lima tahun.

Setelah bekerja lima tahun di Jerman, perusahaan menawarkan suami Grace kemungkinan untuk menjadi pegawai tetap. Akhinya dari kontrak hanya setahun, setelah diperpanjang berkali-kali, suaminya sekarang menjadi pegawai tetap. “Jadi kita bedua awalnya ga ada yang merasa perlu belajar bahasa Jerman. Kita bedua tuh awalnya o’on banget bahasa Jerman,“ kata Grace. “Akhirnya terpaksa deh belajar yang bener, ya,“ ditambahkan Grace sambil tertawa. Mereka sekarang juga sudah menjadi warga negara Jerman.

Beralih profesi di negeri orang

Grace bercerita, ketika suaminya mendapat Green Card dia belum mendapat izin kerja kerja di Jerman. Tapi karena mereka ternyata tinggal lebih lama dari setahun di Jerman, Grace akhirnya berhenti dari pekerjaannya di Indonesia. Karena masih tidak boleh bekerja di Jerman, Grace mencoba untuk kembali berkuliah sastra Cina di Jerman. “Yah, ternyata keputusan yang salah,“ katanya sambil tertawa terbahak-bahak. Masalahnya, kemampuan bahasa Jerman Grace masih kurang untuk mampu mengikuti kuliah di Jerman tentang bahasa lain.

Grace Monetta saat berrekreasi di danau Bodensee di Jerman selatan
Grace Monetta saat berrekreasi di danau Bodensee di Jerman selatanFoto: privat

Akhirnya seorang temannya menyarankan agar dia ikut program Freiwilliges Soziales Jahr (FSJ) atau Bundesfreiwilligendienst (Bufdi). Dalam kedua program ini orang bekerja secara sukarela selama setahun, di bidang sosial, ekologi atau kultural, dan bersifat mendukung kesejahteraan masyarakat. Sehingga orang yang berkecimpung kebanyakan bekerja di berbagai institusi yang menyokong anak-anak dan remaja, atau di bidang kesehatan seperti fasilitas perawatan orang sakit.

Grace disarankan untuk berkecimpung agar bisa mengenal lebih banyak orang, memperluas jaringan, sehingga akhirnya membuka peluang lebih besar di Jerman. Ketika Grace dan suaminya baru pindah ke kota Konstanz, tempat mereka bermukim sekarang, dia disarankan untuk mencoba ikut Bufdi di taman kanak-kanak, pertama-tama untuk sekedar melihat apakah itu pekerjaan yang menarik baginya. “Setelah ngelamar-ngelamar, akhirnya dapet. Jadi deh, Bundesfreiwilligendienst di TK,“ tutur Grace.

Setelah mengenal pekerjaan dan berkenalan dengan banyak orang, dia mengikuti Praxisintegrierte Ausbildung (PIA) atau pendidikan terintegrasi untuk menjadi Erzieherin atau pendidik anak. Program ini ditujukan untuk orang-orang yang sudah punya pengalaman kerja, dan memiliki pendidikan sekolah tinggi. Ini berbeda dengan jalur pendidikan biasa, karena dalam program yang berlangsung tiga tahun ini, orang sudah memiliki kontrak kerja dengan TK, sehingga yang ikut PIA berstatus sebagai pekerja. “Jadi bekerja sambil ikut Ausbildung [pendidikan], dan dapat gaji,“ papar Grace, sambil menambahkan, “Jadi apply [melamar] di Kindergarten [taman kanak-kanak] dulu, baru bisa apply sekolah.“

Grace menjelaskan, pelajaran yang dia dapat ditujukan untuk mendidik anak dari usia di bawah satu tahun sampai sembilan tahun. Dengan itu, ia bisa menjadi pendidik di Krippe (di bawah tiga tahun), guru TK (tiga hingga lima tahun), bekerja di Hort, yaitu tempat penitipan anak usia sekolah, atau menjadi guru sekolah. Meskipun untuk menjadi guru sekolah, dia perlu kualifikasi tambahan.  

Belajar tentang diri sendiri di negeri orang

“Yang menarik dari pekerjaan ini, kita jadi belajar tentang diri kita sendiri, tau ga,“ kata Grace sambil merefleksi pekerjaannya. “Apa yang terjadi dulu, ketika kita masih di sekolah? Ternyata masalahnya lain, bukan kita yang punya masalah,“ kata Grace. Mungkin masalahnya ada di sistem pendidikan di Indonesia, atau di sistem pendidikan guru-guru di Indonesia ketika itu.

Ketika dia mulai berhadapan dengan anak-anak, dia baru menyadari, “Oh iya, ya, ternyata bisa begini. Ternyata anak-anak itu, masalahnya bukannya mereka ga bisa, tapi mereka tuh perlu cara lain untuk belajar.“ Dalam pendidikan, dia belajar bagaimana mengajarkan kepada anak-anak sesuatu yang mungkin tidak mereka sukai, tetapi menggunakan sesuatu yang mereka suka sehingga akhirnya mereka bisa.

Grace bercerita, ketika dalam pendidikan, gurunya mengajarkan bahwa anak-anak selalu punya rasa ingin tahu yang sangat besar. Kalau mereka tidak dibuat takut terhadap sesuatu, mereka akan selalu ingin tahu. Dan guru tidak boleh mematahkan semangat anak-anak, atau bahkan menyebut mereka tidak mampu atau bodoh, misalnya dalam hal pelajaran matematika atau pelajaran lainnya.

Grace mengatakan di Jerman ada sekolah swasta yang menggunakan sistem unik, di mana anak-anak bisa memilih mata pelajaran apa yang ingin mereka pelajari terlebih dahulu, dan jika sudah siap, mereka akan mengatakan sendiri kepada guru, kapan mereka bisa mengikuti ujian. “Suatu saat anak-anak memang harus bisa matematika,“ kata Grace, “tetapi moralnya mereka persiapkan sendiri.“

Hal kedua yang dia nilai bagus di sekolah-sekolah Jerman adalah kebiasaan berdiskusi. Orang Jerman itu senang diskusi, dan diskusi itu adalah salah satu cara untuk membangun struktur pikiran kita, ungkap Grace. Ia menambahkan juga, “Orang Jerman suka struktur. Sekarang saya ngerti, kenapa. Mikir berstruktur buat saya dulu susah banget. Saya tuh dulu kaya kutu loncat, pikiran lari-lari ke mana-mana,“ kata Grace sambil tertawa terbahak-bahak.

Spesial untuk anak-anak di TK, Grace bercerita, sebagai pendidik dia harus kreatif mencari cara bagaimana mengajarkan ke anak-anak agar mereka mengerti. Misalnya ada anak yang takut melakukan sesuatu. Anak itu tidak boleh dipaksa tidak takut, hanya karena anak-anak lainnya tidak merasa takut. Sebagai guru dia harus melihat dengan siapa anak itu biasanya bermain, dan mereka biasanya bermain apa. Kemudian melihat komponen apa yang kedua anak itu kenal, yang bisa digunakan, agar akhirnya anak yang ketakutan tidak merasa takut lagi.

Contoh lain, jika ada anak yang tidak mampu berbahasa Jerman, maka dia harus mencari cara agar bisa berkomunikasi dengan anak itu. Bukan anak itu yang harus mencari cara agar bisa berkomunikasi dengannya. “Saya tuh bukan dewa, atau apalah yang harus disamperin anak itu, gitu lo,“ papar Grace, melainkan dialah yang “melayani“ anak itu. Itulah sistem yang dia pelajari untuk mengajar di taman kanak-kanak.

Mengingat setiap anak perlu pendekatan berbeda, Grace mengatakan, untuk Krippe sistem yang ideal adalah “satu tiga, atau satu dua“ artinya: satu guru untuk maksimal tiga anak. Jadi guru mengamati anak yang ia didik. Memang ada standar, misalnya untuk usia tiga tahun, anak harus sudah mengenal berapa kata. Tetapi standar itu tidak boleh digunakan sama rata untuk semua anak. Setelah mengamati dan mengetahui kesukaan seorang anak, guru harus menggunakan itu semua untuk membantu anak itu memenuhi kekurangannya.

Selain itu, untuk jadi pendidik, dia juga harus belajar tentang perkembangan otak anak. Jika seorang anak mengalami trauma, apa yang terjadi pada anak itu? Misalnya dengan terus memberikan sokongan dan pujian. “Jadi psikologis, pedagogis, Sprache [bahasa], segala macem sih, sebenernya. Orang juga begleiten [mendampingi] orang tua, dan baby sitter,“ kata Grace sambil tertawa lagi.

Dari pekerjaan jadi panggilan

Walaupun belajar banyak dari pendidikannya, Grace merasa tidak pernah sekedar menggunakan apa yang ia pelajari untuk menolong muridnya. “Saya merasa mendapatkan sesuatu, dan jauh lebih banyak dari anak-anak itu,“ ungkap Grace. Dia bercerita, pernah punya murid yang baru berusia empat tahun. Anak itu bertanya kepada Grace, yang selama ini bekerja di TK milik gereja Katolik, apakah dia percaya Tuhan. Grace menjawab, ya. Anak itu berkata, dia juga, tetapi ayahnya tidak percaya kepada Tuhan. Oleh sebab itu, anak itu berkata, dia percaya kepada Tuhan juga untuk ayahnya.

Grace Monetta
Grace MonettaFoto: privat

Di saat lain, Grace punya murid yang menyatakan pengertian bagi Grace. Ketika itu, tutur Grace, dia belum terlalu bisa bahasa Jerman. Dan murid-muridnya banyak yang mengatakan, “Grace, Du sprichst komisch [kamu ngomongnya lucu]!“ Kalau mendengar komentar itu, Grace tertawa saja. Tetapi ada satu anak yang bernama Paul, yang menghampiri dia, dan duduk di sebelahnya. Grace mengira, Paul butuh sesuatu, dan akan mengajak dia bermain. Tatapi Paul berkata, “Grace, Du sprichst zwar komisch, aber ich verstehe Dich sehr gut [kamu ngomongnya lucu, tapi saya mengerti kamu dengan sangat baik].“ Grace mengatakan hatinya lega ketika mendengar Paul mengatakan itu.

Sebagai orang dewasa, setelah mendengar itu Grace merasa tiba-tiba kehilangan segala rasa takutnya. Kadang dia merasa takut berbicara dalam bahasa Jerman karena khawatir tidak dimengerti orang lain. Dia tidak tahu, apa yang membuat Paul mengatakan itu kepadanya. “Tapi saya pakai itu untuk anak-anak lain. Apa yang saya alami, saya kasi lagi ke orang lain,“ kata Grace. Ia menambahkan, sebetulnya menurut kontrak kerja, dia hanya bekerja 80%. Jadi dia tidak harus bekerja setiap hari. Tetapi dia datang setiap hari. “Kalau ga datang setiap hari, saya merasa ich verpasse etwas [saya kehilangan sesuatu].“

Menampik prasangka buruk

Dalam hal perilaku anak, Grace berpendapat bahwa sikap dan perkembangan anak juga ada kaitannya dengan sikap dan perlakuan orang tua terhadap mereka. Salah satu tantangan terbesar dalam pekerjaannya adalah, dia juga harus berusaha mengerti orang tua muridnya. Misalnya orang tua membesarkan anaknya dengan penuh ketakutan, sehingga si anak tidak bebas melakukan apa yang diinginkan. Bagi Grace, sikap orang tua yang seperti itu membuat dia kesulitan memberikan dorongan bagi si anak. Sehingga akhirnya dia juga harus bisa mengerti dan bekerja sama dengan orang tua murid. "Saya ga bisa bilang orang tua itu salah. They are doing their best [mereka melakukan yang terbaik], untuk mendidik anak sesuai yang mereka ketahui."

Sekitar tahun 2015, ketika Jerman kedatangan banyak sekali pengungsi dari Suriah dan Afghanistan, dia masih mengajar di TK. Waktu itu anak-anak pengungsi Afghanistan juga banyak yang datang ke TK tempat dia bekerja. "Yang berat, melihat ibu. Bagaimana tidak berartinya posisi seorang ibu dalam masyarakat itu."

Dengan bantuan penerjemah, dia dan pendidik lain serta kepala sekolah berbicara dengan banyak ibu. Para ibu kerap berkata, bahwa mereka ingin banyak hal bagi anak-anak mereka, dan para pendidik berusaha mendorong para ibu untuk mewujudkan niat mereka yang baik bagi anak-anaknya. "Tapi ga bisa, karena suami mereka menentukan lain," tutur Grace sambil menambahkan, "padahal kami melihat anak itu pintar." Tapi kemampuannya tidak diperhatikan dan tidak dapat dorongan, karena dia anak perempuan. "Hati saya remuk, setiap kali mendengar seorang ibu mengatakan itu."

Tapi menurut Grace, kepala sekolah tidak putus asa dan dengan gigih terus berusaha mengubah pandangan di keluarga itu. Para ibu melihat dan menghargai upayanya. Sampai akhirnya banyak ibu orang Afghanistan yang datang ke kantor kepala sekolah hanya untuk memeluk dia dan mengucapkan terima kasih. "Tapi di belakang kepala kita harus ingat, kita tidak bisa menyalahkan para orang tua." Itu tantangan yang membuat pekerjaannya sangat berat. Tapi jika berhasil mengubah sesuatu, walaupun hanya sedikit, dia selalu bersyukur.

Akhirnya kepala sekolahnya mengambil sebuah keluarga yang punya anak perempuan banyak, untuk dijadikan panutan. Semua anak perempuan mereka didorong untuk mengembangkan diri. "Jadi perempuan itu bukan sesuatu yang jelek, gitu lo. You can change the world [kamu bisa mengubah dunia] walaupun kamu 'perempuan'," begitu ditekankan Grace, dan menambahkan, "Dalam hati saya pikir, mungkin ada tujuannya juga mereka lari ke Jerman. Kita kan ga tau, ya."

Pelajaran yang juga dia petik dari situasi seperti itu, adalah: "Memang Vorurteile [prasangka buruk] itu pada dasarnya memang jelek. Dalam berbagai pekerjaan, bukan pekerjaan saya saja."

Selain itu, di Jerman, pelajaran terbesar yang dia peroleh adalah, umur berapapun orang bisa mulai menimba pendidikan dan belajar. Dia memulai pendidikan untuk jadi guru TK ketika sudah berusia di akhir 40-an, dan masih bisa terus menimba pendidikan. Itu semua dulu tidak pernah terbayang. "Saya bikin SIM umur 40, bo" kata Grace sambil tertawa cekikikan.

Berkaitan dengan itu, bagi orang Indonesia yang ingin datang dan berkuliah atau bekerja di Jerman, dia menyarankan tidak hanya menyasar kuliah di universitas. Melainkan lihat pula kesempatan untuk mendapatkan Ausbildung. Karena orang sekaligus bekerja, dan setelah itu selesai, jika mau, masih bisa melanjutkan ke universitas. Lagi pula informasi tentang pendidikan ini juga sekarang sudah lebih mudah diperoleh di Indonesia, misalnya di Goethe Institut. (ml/hp)