1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Kenapa Indonesia Impor Sampah Asing?

5 Juli 2019

Indonesia memulangkan 49 kontainer berisi sampah ilegal, termasuk dari AS dan Jerman. Meski padat aturan, tidak sedikit pelaku usaha yang tergiur bisnis gelap penyeludupan sampah dari negara kaya. Mengapa?

https://p.dw.com/p/3Lc0Y
Sampah asal Australia di Jawa Timur
Sampah asal Australia di Jawa TimurFoto: Prigi/Ecoton

Sejatinya Indonesia termasuk negara penghasil polusi plastik di laut terbesar kedua di dunia setelah Cina. Namun fakta itu tidak menyurutkan sebagian pelaku usaha mengimpor sampah plastik dari negara kaya. Kini sebagian kecil dari plastik yang tidak bisa didaur ulang itu dipulangkan paksa pemerintah Indonesia.

"Semua kontainer sudah kami segel dan siap dikembalikan. Saat ini sedang menunggu jadwal kapal,” kata Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Deni Sujantoro, seperti dilansir AFP.

49 kontainer berisikan limbah plastik diberangkatkan dengan menggunakan kapal laut ke Amerika Serikat, Jerman, Prancis dan Hong Kong. Jika merujuk pada data Kementerian Perdagangan, penggerebekan dan pemulangan paksa sampah asing kali ini tidak akan menjadi yang terakhir.

Baca juga:Kala Indonesia Jadi Surga Pembuangan Sampah Negara Maju 

Pasalnya menurut data pemerintah impor limbah plastik Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan dua tahun silam. Pada 2018 Indonesia tercatat menampung 320,4 juta kilogramm sampah plastik. Padahal setahun sebelumnya jumlahnya hanya berkisar 128 juta kilogram.

"Pemerintah sendiri harus lebih tegas dalam mendefinisikan sampah," kata Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, kepada reporter DW Rizki Akbar-Putra. Karena meski impor sampah sudah dilarang oleh UU 18/2018, jenis sampahnya sendiri belum didefinsikan dengan jelas.

"Pengertian sampah adalah sisa konsumsi rumah tangga atau masyarakat harian. Yang mana kita temukan di dalam kontainer yang dikirim masuk ke Indonesia," imbuhnya. "Pengiriman kembali sudah tepat namun yang lebih penting bagaimana bisa menjaga agar kita tidak menerima kiriman sampah lagi untuk ke depannya."

Sejak lama negara-negara industri maju tidak lagi serius mengolah limbah sendiri. Celah ini dimanfaatkan sejumlah perusahaan untuk memetik keuntungan dari bisnis sampah. Perusahaan di Eropa biasanya menampung sampah dengan imbalan uang. Namun bukannya mendaur ulang di dalam negeri, sampah itu diekspor untuk ditampung di Asia dengan iming-iming duit.

Buat pengimpor sampah asal Indonesia bisnis ini menguntungkan "karena dibayar dari negara asal," kata Dwi Sawung, Pengkampanye Urban dan Energi Walhi. "Sementara jika dari dalam negeri harus membeli bahan baku," imbuhnya. Namun begitu Walhi sejauh ini mengaku belum memiliki data seberapa besar nilai ekonomi impor sampah luar negeri.

Baca juga: Bagaimana Negara Barat Hadapi Arus Balik Limbah Plastik?

"Kami dengar satu ton sampahnya sekitar 40 Dollar AS," tulis Dwi melalui pesan pendek saat dihubungi DW Indonesia. "Soal angka uang ini belum ada bukti solid. Kami mendengar dari rekan di luar, mereka membayar di angka sekitar itu."

Serupa di Indonesia, bisnis limbah di Eropa hingga kini masih gelap dan tertutup meski ada beragam regulasi pemerintah. Ketiadaan pengawasan perbatasan di Uni Eropa membuat perputaran uang dan limbah ilegal menjadi tak terdeteksi. Tidak jelas pula siapa yang paling diuntungkan. Sebab itu regulator kerap kesulitan mengawasi bisnis hitam bernilai miliaran Dollar AS itu.

Fenomena ini bisa diamati di Jerman. Lantaran kewenangan perizinan berada di negara bagian, pengawasan secara nasional mustahil dilakukan, keluh Kementerian Lingkungan Hidup Federal Jerman kepada mingguan Der Spiegel belum lama ini.

Menambang Harta Karun Dari Sampah Elektronik

Ketika Cina menutup keran impor limbah 2018 lalu, pemerintah tidak memiliki alternatif selain mengirimkan sampah plastik dan kertas yang tidak bisa didaur ulang sebagai bahan bakar untuk industri, seperti untuk pabrik semen.

Alternatif lain berupa daur ulang tidak jarang harus dilewatkan lantaran keterbatasan kapasitas dan adanya potensi ekspor limbah ke Asia oleh pelaku industri.

Menurut Asosiasi Industri Daur Ulang Jerman, limbah yang diekspor ke Indonesia bersifat ilegal. "Pada dasarnya ekspor sampah tidak diizinkan,” kata Jurubicara Asosiasi Industri Limbah Jerman (BDE), Bernhard Schodrowski dalam keterangan tertulis kepada DW Indonesia. Dia menegaskan ekspor hanya diperbolehkan untuk bahan baku daur ulang.

Baca juga: Usai Larangan Impor Cina, Limbah Plastik Dunia Serbu Asia Tenggara

Menurut BDE ekspor sampah kategori limbah karet, plastik dan stirena dari Jerman ke Indonesia pada 2018 meningkat drastis, dari 600 ton menjadi 64.459  ton per tahun. Sampah yang diekspor biasanya harus bisa didaur ulang, artinya berupa limbah yang belum terkontaminasi. Jerman juga melarang pengimpor Indonesia menyimpan limbah tanpa diolah.

Namun dalam prakteknya aturan tersebut tidak selalu ditaati. Menurut jawatan bea cukai di Pulau Batam, 49 kontainer yang dipulangkan juga berisi limbah beracun. "Seandainya benar bahwa dalam kontainer itu terdapat materi berbahaya, maka pelakunya harus diadili atas tindak kriminal,” imbuh Schodrowski.

BDE mengklaim nantinya sampah yang dipulangkan Indonesia "akan diolah di Jerman secara secara profesional bergantung pada jenisnya." 

Pada dasarnya bisnis ekspor limbah daur ulang seyogyanya menguntungkan kedua pihak. "Contohnya limbah logam, sangat penting terutama buat negara yan tidak memiliki industri baja sendiri," kata dia. "Perekonomian negara yang miskin sumber daya alam bergantung pada impor limbah logam dari negara lain."

Dalam kasus Indonesia, kebutuhan bahan baku kimia daur ulang dirasakan oleh sektor manufaktur. Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mencatat, lebih dari separuh kebutuhan petrokimia dalam negeri berasal dari impor. Tahun 2017 kebutuhan atas bahan baku kimia semisal polietilena (PE), polipropilena (PP), polistirena (PS) dan polivinil klorida (PVC) mencapai 5,83 juta ton.

Artinya dari hampir 6 juta ton kebutuhan bahan baku, industri petrokimia di dalam negeri hanya mampu memproduksi 2 juta ton. Sementara sisanya harus mengimpor, antara lain berupa limbah daur ulang.

Sebab itu "aktivitas perdagangan bahan baku daur ulang ini tidak boleh disamaratakan dengan ekspor sampah yang jelas ilegal," pungkas Schodrowski.

Rizki Akbar-Putra turut berkontribusi dalam pembuatan laporan ini