1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Childfree: Cukupkah Sebuah Keluarga Tanpa Hadirnya Anak?

7 September 2022

Pertimbangan untuk menikah dan pertimbangan memiliki anak setelah menikah adalah dua rasionalitas yang berbeda. Setelah menikah tidak berarti memiliki anak, ujar sosiolog.

https://p.dw.com/p/4GTgC
Ilustrasi pasangan berpiknik berdua di taman
Ilustrasi pasangan berpiknik berdua di tamanFoto: Erik Reis/IKOstudio/Zoonar/picture alliance

Suar Sanubari, 37, sudah membina rumah tangga dengan istrinya sejak tahun 2011. Laki-laki yang berprofesi sebagai pengacara di sebuah firma hukum di Jakarta ini punya pemahaman sendiri mengenai konsep keluarga.

Baginya, dalam suatu keluarga tidak harus ada anak. Namun, pasangan suami istri bisa saling menciptakan rasa aman, nyaman, dan saling mendukung. Dukungan pun tidak hanya psikologis tapi juga materi, kata Suar kepada DW Indonesia.

Pada awalnya Suar dan istri merasa belum siap untuk memiliki buah hati setelah menikah. Mereka sepakat menunda kehamilan. Namun, dalam perjalanan pernikahan, mereka berdua sepakat memutuskan untuk tidak memiliki anak. Keputusan ini dikenal dengan istilah childfree yaitu keputusan pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak dengan berbagai pertimbangan.

"Kita kayaknya ga apa-apa ga punya anak. Ga repot," kata Suar kepada DW Indonesia. "Zaman sekarang bukan sekadar punya penduduk banyak untuk mendapatkan ekonomi dan politik yang baik," ujar Suar seraya menambahkan bahwa dunia saat ini sedang mengalami overpopulasi.

Memang, jumlah penduduk dunia per September 2022 diperkirakan mencapai 7,9 miliar menurut estimasi PBB yang dielaborasi oleh Worldometer.

Anggaran rumah tangga lebih ramping

Memiliki dan membesarkan anak tentu butuh biaya tidak sedikit. Para orang tua di Indonesia membutuhkan setidaknya 100 juta rupiah untuk biaya merawat anak dari usia nol sampai tiga tahun, menurut Lengga Pradipta, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), seperti dikutip dari artikel Alinea.id yang diterbitkan pada 25 September 2021.

Suar mengakui bahwa tidak adanya tanggung jawab merawat anak memang membuat anggaran rumah tangganya lebih sederhana. "Kita (berdua) bisa travelling dengan mudah," kata Suar.

Selain itu, Suar dan istrinya juga dapat berkarir dengan tenang. Namun, Suar menggarisbawahi bahwa mereka yang punya anak bukan berarti tidak bisa berkarir dengan tenang dan baik.

Sejauh ini Suar dan istrinya tidak pernah mendapat komentar negatif baik dari lingkungan kerja dan tetangga mereka. Suar mengatakan bahwa dia sudah bekerja di lima firma hukum berbeda yang memahami pilihan hidup dia dan istrinya.

"Dampak negatif ya paling rengekan dari orang tua. Kalau orang tua istri sudah nerima," kata Suar kepada DW Indonesia melalui sambungan telepon.

Keputusan tidak populer

Menurut catatan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri per Desember 2021, terdapat 133,03 juta jiwa (48,57%) penduduk Indonesia yang sudah menikah, dan ada 125,58 juta jiwa (45,85%) penduduk belum menikah.

Pernikahan antara laki-laki dan wanita ini akan menjadi suatu keluarga yaitu unit dasar dari organisasi sosial, menurut Nadia Yovani, sosiolog Universitas Indonesia (UI). Keputusan memiliki anak setelah menikah adalah kesepakatan bersama pasangan suami istri,  bukan hanya di laki laki, kata Nadia.

Nadia menjelaskan bahwa pertimbangan untuk menikah dan pertimbangan memiliki anak setelah menikah adalah dua rasionalitas yang berbeda. Setelah menikah tidak berarti memiliki anak.

"Rasionalitas di perempuan tergantung si perempuan karena dia yang akan mengandung sembilan bulan," tutur Nadia.

Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan definisi keluarga. Menurut UU tersebut, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.

Walaupun negara sudah menjamin keputusan pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak, faktanya sebagian masyarakat belum bisa menerima keputusan tersebut. Nadia menjelaskan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia masih agamis yang mengaitkan pernikahan harus disertai kepemilikan anak.

"Mereka mengganggap (pasangan suami istri) yang childfree tidak harus nikah," kata Nadia kepada DW Indonesia. Dia pun mengingatkan bahwa keputusan pasangan untuk childfree adalah keputusan mereka yang menjalaninya, bukan keputusan masyarakat sekitar.

Indonesia berisiko seperti Jepang

Di Jepang, angka kelahiran pada tahun 2016 menurun drastis mencapai di bawah satu juta kelahiran, pertama kali sejak tahun 1899, menurut tulisan ilmiah yang dipublikasikan pada Oktober 2018 oleh Kato Akihiko, profesor ilmu politik dan ekonomi Universitas Meiji.

Kato menduga bertambahnya orang-orang Jepang yang tidak ingin memiliki anak menyebabkan penurunan angka kelahiran di negaranya. Pernikahan dan membentuk keluarga membutuhkan biaya. Sekitar 70% responden pasangan di Jepang mengatakan uang jadi faktor utama untuk menikah dan memilik anak. 

Populasi Jepang mulai menurun sejak tahun 2009. Pada tahun itu, jumlah populasinya sekitar 128,56 juta. Populasi Jepang diperkirakan 126,48 juta pada akhir tahun 2020 dan bisa kurang dari 100 juta pada tahun 2058, seperti dikutip dari World Population Review.

Sosiolog UI Nadia Yovani berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan tren di Jepang ini juga bisa dialami oleh Indonesia dalam 30 tahun mendatang. Biaya hidup, lagi-lagi, diduga menjadi alasan generasi muda Indonesia saat ini enggan untuk punya anak.

Kalau nanti tua bagaimana?

Generasi baby boomers, sebutan bagi mereka yang lahir di antara tahun 1946 sampai 1964 atau usia sekitar 57 sampai 75 tahun di 2021, memberi bonus demografi bagi Indonesia, kata Nadia. Bagi boomers, punya tiga atau empat anak adalah hal biasa.

Namun hal ini tidak melulu relevan bagi generasi Z yang lahir di kurun waktu 1995 sampai dengan 2012, kata Nadia. Gaya hidup gen Z berbeda dengan generasi baby boomers, tambah Nadia. "Biaya (hidup) makin mahal. Banyak anak, banyak rezeki sudah tidak relevan," tegas Nadia.

"Makin ke sini anak muda Indonesia kesulitan ambil KPR atau apartemen," kata Nadia. Apalagi generasi muda yang masih harus menanggung biaya hidup orang tuanya, tambah Nadia.

Salah satu yang menjadi pertimbangan banyak orang untuk memiliki anak adalah agar tidak kesepian dan sendiri di hari tua. Sedangkan Suar dan istrinya tidak merasa khawatir menghabiskan waktu berdua sampai usia tua. Suar mengatakan mereka bisa saja menikmati masa tua di panti jompo yang layak.

Baginya, hubungan sedarah tidak menjamin kedekatan. Namun bagaimanapun, Suar mengaku bahwa harus ada upaya untuk saling memupuk keharmonisan.

“Selama kita punya kesehatan dan uang, dunia ini ga akan habis untuk dieksplor,” tutup Suar. (ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).