1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cara Milenial dan Gen Z Batasi Hate Speech di Pilpres 2024

12 September 2022

Banyak yang masih ingat rasa lelah dan tegang akibat beredarnya ujaran kebencian di Pilpres 2019. Pemilih milenial dan gen Z harus cerdas agar tidak mudah terhasut.

https://p.dw.com/p/4Gd1B
Ilustrasi ujaran kebencian di internet
Ilustrasi ujaran kebencianFoto: Christian Ohde/imago

Dimas Pangestu, 28, masih ingat dampak ujaran kebencian yang dihembuskan saat pemilihan umum (pemilu) presiden dan wakil presiden 2019. Laki-laki yang berdomisili di kota Bandung ini mengatakan bahwa anggota keluarganya terbelah dua akibat perbedaan pandangan politik.

Menurut Dimas, ujaran kebencian adalah suatu usaha mengompori yang dilakukan suatu pihak untuk menjatuhkan pihak lain. Dalam konteks politik, ujaran kebencian dapat menyebabkan pemilik suara tidak bisa berpikir jernih dan tidak bisa berpikir kritis mempelajari visi misi serta program kerja kontestan gelaran pemilu. Isu agama menjadi salah satu topik sensitif yang kerap diangkat.

"Ujaran kebencian sama seperti black campaign yang menjatuhkan pihak lain tanpa mengkritisi program kerja kontestan lain," ujar Dimas kepada DW Indonesia.

Dampaknya, pemilih tidak bisa mana informasi yang benar dan salah. Ketegangan akibat ujaran kebencian dan hasutan pun ia rasakan sangat melelahkan. Menurutnya, di pilpres mendatang, sosial media, terutama TikTok, bisa jadi 'ladang pertempuran'. Oleh karena itu, ia merasa perlu menjadi pemilih milenial yang cerdas agar tidak mudah terhasut.

"Kita bisa filter konten yang masuk ke sosial media kita dan memverifikasi tiap informasi ke media massa yang kredibel," kata Dimas.

Sedangkan Esti Lestari, 24, mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, bersyukur dengan diskusi politik yang sehat di dalam keluarganya saat pemilu 2019 lalu. Sayangnya, diskusi semacam ini tidak bisa ia dapat di lingkungan pergaulan.

"Kalau teman-teman cenderung mengunggulkan salah satu kandidat dan ada paksaan," kata Esti kepada DW Indonesia.

Tetap antusias mencoblos

Baik Dimas maupun Esti mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan perhelatan Pilpres 2024 akan diwarnai ujaran kebencian. Namun, ini tidak menyurutkan mereka untuk tetap mencoblos.

Hasil survei tim Riset dan Analitik Kompas Gramedia bersama dengan Litbang Kompas yang terbit pada 8 April 2022 mengatakan bahwa sebanyak 86,7% generasi milenial dan generasi Z antusias menggunakan hak suara mereka di pemilu 2024.

Dimas dan Esti mengatakan kepada DW Indonesia bahwa mereka tidak akan memilih kontestan pemilu yang menyebarkan ujaran kebencian untuk menaikkan angka keterpilihan.

Dimas berharap dalam pemilu nanti ada tokoh "politik muda punya kreativitas, punya kapabilitas, dan political will yang bagus."

Sedangkan Esti mengatakan bahwa generasi Z perlu lebih cermat saat menerima informasi apa pun dari sosial media. Ia bahkan bisa mengidentifikasi ujaran kebencian biasanya diambil dari potongan-potongan informasi yang tidak utuh dan dibubuhi narasi yang menjatuhkan. 

Kelompok minoritas jadi sasaran

Cecilia Jacob, associate professor dari Australia National University mengatakan bahwa berkembangnya penggunaan dan pengaruh media sosial telah mengakibatkan intolerasi, diskriminasi, dan ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas, bahkan terhadap perempuan.

Cecilia mengutip definisi ujaran kebencian menurut PBB, yakni segala jenis komunikasi dan ucapan, tulisan, atau perilaku yang menyerang atau menggunakan bahasa yang merendahkan dan diskriminatif. Ujaran ini dapat dilontarkan kepada seseorang atau suatu kelompok berdasarkan faktor identitas seperti agama, suku, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, dan jenis kelamin.

Perlu upaya jangka panjang untuk memerangi ujaran kebencian, ujar Cecilia dalam lokakarya diseminasi The Global Action Against Mass Atrocity Crimes (GAAMAC) Mengenai Ujaran Kebencian dan Penghasutan di Asia-Pasifik oleh lembaga think tank Centre for Strategic and International Studies (CSIS), awal September di Jakarta.

Selain itu, ia menegaskan pentingnya kepastian perlindungan hukum yang memadai bagi kelompok minoritas dan kelompok rentan seperti pembentukan undang-undang khusus untuk melawan perilaku diskriminatif. Dia juga mengimbuhkan pentingnya pembinaan masyarakat yang toleran dan beragam, serta perlindungan korban lewat sistem peradilan dan kepolisian.

Perlu rangkul tokoh agama

Peneliti CSIS, Alif Satria, mengatakan ada beberapa hal yang memicu ujaran kebencian di Indonesia, antara lain yaitu bangkitnya paham agama yang konservatif, tujuan meningkatkan elektoral bagi politisi, dan meningkatnya persepsi bahwa kelompok atau individu tertentu telah atau akan mengancam modal sosial-ekonomi.

Alif mencontohkan beberapa kasus ujaran kebencian yang pernah terjadi di Indonesia. Seperti, kekerasan yang dialami kelompok Syiah di Sampang, Madura pada tahun 2006 sampai 2012, penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Bogor tahun 2005 sampai 2011. Terakhir, kasus dugaan penodaan agama yang berujung pada ujaran kebencian kepada mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

"Banyak celah di peraturan pemerintah yang rentan disalahgunakan," kata Alif. Ia juga menyayangkan bahwa kritik kepada pemerintah sering dianggap sebagai ujaran kebencian.

Sementara Cecilia Jacob menjelaskan bahwa perlu upaya merangkul tokoh agama dan politik untuk memerangi penyebaran ujaran kebencian di Indonesia. Orang Indonesia memiliki kecenderungan mentaati suatu tokoh yang mereka idolakan, ujarnya. (ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).