1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakAfganistan

Afganistan: Negosiasi Alot dengan Taliban

Knipp Kersten
24 Januari 2023

Kontak kemanusiaan bisa menggerakkan Taliban untuk lebih membuka diri. Pendekatan itu sedang diupayakan Arab Saudi dan Qatar. Namun penguasa Kabul gemar mendemonstrasikan betapa minim pengaruh negara asing di Afganistan.

https://p.dw.com/p/4MabV
Pejabat Taliban di Kabul
Pejabat Taliban di KabulFoto: WAKIL KOHSAR AFP via Getty Images

Bagaimana dunia bisa mempengaruhi Taliban? Di Forum Ekonomi Dunia, Davos, Swiss, Menteri Luar Negeri Qatar, Syeikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani, membeberkan strategi diplomasi untuk meluruhkan isolasi Emirat Islam. Harus diakui, kata dia, kebijakan terbaru Taliban "sangat mengecewakan." Kendati begitu, Doha mengaku tetap akan berhubungan dengan penguasa baru kabul.

Untuk menjalin dialog dengan petinggi Taliban di Kandahar, Doha juga berkonsultasi dengan negara-negara muslim lain, lanjut al-Thani. Misinya itu memang "bukan tugas yang ringan," tapi tetap harus dilaksanakan.

Qatar ingin tetap mendukung perempuan Afganistan. Mereka, kata Menlu al-Thani di sela-sela Forum Ekonomi Dunia, "akan berhasil memperjuangkan haknya, sebagaimana mereka juga berhasil sebelumnya. Kami akan tetap bersama mereka, akan mendukung mereka."

Qatar pantang menyerah

Pada saat yang sama, dia mengakui betapa Qatar belum berhasil meyakinkan Taliban. "Kami bahkan berusaha menjalin dialog dengan Kandahar, tapi sejauh ini kami belum berhasil," ujarnya, merujuk pada pusat kekuasaan kultural dan relijius Taliban. "Kami tetap berhubungan dengan negara-negara muslim lain di kawasan," imbuhnya.

Pun Perserikatan Bangsa-bangsa berupaya melobi Taliban. Pertengahan Januari silam, Sekretaris Jendral PBB, Antonio Guterres, mengritik "serangan sistematis terhadap hak perempuan" di Afganistan, dan menyebutnya sebagai contoh "apartheid-gender."

Sebab itu penting untuk berbicara dengan Taliban, kata Thomas Ruttig, pendiri wadah pemikir "Afganistan Analysts Network." Terutama karena perempuan tidak mampu berbicara secara terbuka dengan Taliban, maka tugas itu harus diemban pemerintahan atau lembaga asing. "Berdialog tentu tidak berarti menyepakati posisi lawan bicara," kata dia.

Haluan baru Arab Saudi

Sebab itu Ruttig menyambut insiatif diplomasi dari Arab Saudi dan Qatar. "Mereka mungkin punya lebih banyak peluang ketimbang Negara Barat, jika ingin didengar oleh kaum ultrakonservatif di Taliban. Karena Haibatullah Achundzada, pemimpin spiritual Taliban, hingga kini belum menerima diplomat asing atau sangat jarang."

Keterlibatan Arab Saudi dan Qatar di Afganistan sudah berawal sejak beberapa dekade silam. Pada saat invasi Uni Sovyet ke Afganistan antara 1979-1989, Riyadh menyokong kelompok pemberontak dengan senjata dan turut menyusupkan ideologi ekstrem Wahabi ke dalam gerakan bersenjata. Kini, Saudi mencoba cara lain, yakni mengkampanyekan Islam moderat, antara lain melalui Bank Pembangunan Asia atau Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Qatar sebaliknya memosisikan diri sebagai kanal diplomasi bagi Taliban untuk berhubungan dengan dunia internasional. Doha tidak hanya punya perwakilan diplomasi tetap di Afganistan, tapi juga memediasi antara Taliban dan AS pada 2020 silam. Sejak 2013 Taliban juga memiliki biro internasional di Doha.

Meski begitu, Taliban gemar mendemonstrasikan betapa pemerintahan asing memiliki pengaruh yang terbatas. Komitmen yang dijanjikan para talib untuk memperkuat hak perempuan misalnya sejauh ini jauh panggang dari api. "Dilema Afganistan tidak bisa diselesaikan oleh cuma satu negara," demikian hasil analisa wadah pemikir AS, Atlantic Council, Januari silam.

Bagi PBB, penting untuk tidak tampil sebagai perwakilan dunia Barat, kata Ruttig. "Dalam peran tersebut, Taliban akan semakin kuat menolak PBB," ujarnya. Menurutnya, kaum moderat di Taliban harus diperkuat dalam jangka panjang. Tapi, "selama dialog yang sudah dibuat tidak menghasilkan kemajuan, penduduk Afganistan akan terus menjadi korban pembatasan irasional oleh Taliban."

rzn/hp