1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aceh Perkenalkan Skuad Algojo Perempuan

28 Januari 2020

Lantaran semakin banyak perempuan yang kedapatan melanggar Syariat Islam, kini pemerintah Aceh membentuk skuad algojo perempuan pertama. Mereka antara lain dilatih agar meniminalisir cedera pada tubuh terpidana.

https://p.dw.com/p/3Wu7A
Indonesien Aceh Timur  | Frau wird wegen vorehelichen Sex ausgepeitscht
Foto: Getty Images/AFP/C. Mad

Seorang perempuan bercadar menghampiri terpidana yang duduk bersimpuh di atas panggung. Lalu dia dengan cekatan mengayunkan cambuk rotan ke tubuh korban yang kedapatan bermalam bersama seorang pria di hotel. Perempuan itu adalah anggota teranyar skuad algojo perempuan di Aceh.

Meski gugup di awal, sang algojo muda berhasil melakoni eksekusi cambuk pertamanya. "Saya kira dia sudah bagus. Tekniknya sangat baik," kata Zakwan kepada AFP. Dia adalah Kepala Seksi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh.

Sejak lama hukuman cambuk menjadi sorotan media dan sasaran kritik aktivis kemanusiaan. Pemberitaan mengenai penerapan Syariah Islam di Aceh sedemikian miring, sampai-sampai Presiden Joko Widodo sempat meminta agar penerapan hukuman dipindahkan ke dalam ruangan supaya tidak menakut-nakuti calon investor.

Baca juga:Ulama Aceh Dukung Fatwa Haram Nonmuhrim Ngopi Semeja 

Selama ini eksekusi hukuman cambuk selalu dilakukan oleh algojo pria. Kini profesi itu juga dilakoni oleh kaum perempuan.

Saat ini semakin banyak perempuan yang mendarat di kursi dakwaan lantaran melakukan kejahatan moral seperti berpacaran atau seks sebelum menikah. Seiring dengan itu pemerintah Aceh membentuk skuad algojo perempuan untuk mengemban eksekusi terhadap terpidana perempuan.

Tapi merekrut perempuan buat menjadi algojo bukan tugas yang ringan, kisah Safradi yang bertanggungjawab mengawasi penerapan Syariah Islam di kota Banda Aceh. Dia mengaku membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun untuk mengumpulkan anggota skuad.

Saat ini sebanyak delapan orang perempuan telah dilatih beragam teknik pencambukan, antara lain untuk menghindari cedera berlebih pada tubuh terpidana. Sebelumnya Banda Aceh sudah memiliki skuad algojo pria beranggotakan 12 orang.

"Kami melatih mereka untuk memastikan kebugaran mereka dan mengajarkan bagaimana melakukan cambukan yang benar," ujar Zakwan. Menurutnya rintangan terbesar adalah hambatan mental untuk menyambuk sesama manusia. Untuk itu sang algojo selayaknya merujuk pada Tuhan, imbuhnya.

Hukum Cambuk Kembali Digelar Di Muka Umum di Banda Aceh

"Ini termasuk indoktrinisasi yang kami berikan kepada mereka agar mereka memahami peran masing-masing, tiada ampun bagi mereka yang melanggar hukum Allah."

Namun hukuman cambuk dinilai bisa menyisakan trauma berkepanjangan. Sebagian terdakwa harus dirawat di rumah sakit usai mendapat hukuman cambuk lebih dari 100 kali. Kebanyakan terpidana melarikan diri usai eksekusi lantaran merasa malu. Ada pula pemilik toko yang dilaporkan bangkrut usai kedapatan melanggar Syariah dan divonis hukuman cambuk.

Meski demikian pemerintah Aceh membantah kecaman organisasi HAM yang menilai penerapan Syariah bersifat "tidak manusiawi" dan "barbarik."

"Kami tidak ingin melukai terpidana dengan menyambuk mereka," ujar Safriadi. "Yang paling penting adalah efek malu pada pelaku sehingga mereka tidak melakukannya lagi."

Baca juga:Ulama Aceh Dicambuk Karena Hubungan Intim di Luar Nikah 

Belakangan pemerintah Aceh mulai menggiatkan pengawasan dan penerapan hukuman. Dalam tugas patroli teranyar, anggota Wilayatul Hisbah memergoki sekelompok lak-laki sedang duduk bersama seorang perempuan di kedai kopi pada jam 3 pagi. Mereka ditahan dengan alasan melanggar larangan interaksi lawan jenis tanpa status nikah.

"Ini membuktikan bahwa kami tidak pernah tidur dalam menindak pelanggaran Syariah Islam," imbuh Safriadi. Namun salah seorang tertuduh membantah dakwaan WH. "Kami bahkan tidak mengenal perempuan itu dan kami duduk di meja yang berbeda," ujarnya kepada AFP.

Semua dibebaskan, kecuali tiga orang yang kini didakwa dengan tuduhan berorientasi seksual sesama jenis. "Syariah di Aceh masih terlalu ramah," kata seorang penduduk Banda Aceh bernama Saiful. "Aceh membutuhkan hukuman yang lebih berat, seperti hukum rajam, tidak cuma cambuk."

"Seseorang yang melakukan perbuatan mesum seharusnya dirajam seratus kali," kata dia lagi.

 rzn/vlz (AFP)